Filosofi Manusia Maluku
(kajian tradisi pela-gandong)
Pendahuluan
Orang tidak
dapat memahami secara tepat setiap fenomena kemanusiaan (baik tradisi, budaya,
agama, karaktek hidup, bahasa, sistem kekerabatan, pemerintahan, kekuasaan, dan
sebagainya) tanpa punya pemahamana yang jelas tentang filosofi manusia itu
sendiri. Sebab kalaupun kita mengacu pada pemahaman filsafat sebagai bentuk
penghayatan intelektual atas realitas kehidupan secara utuh. Dan penghayatan
tersebut menyentuh segala kenyataan manusiawi, baik untuk kepentingan keilmuan
(ilmiah) maupun kehidupan praksis (Aholiab Watloly, 2005: 201). Maka, dalam
konteks Masyarakat Maluku yang secara geo fisik, historis maupun sosiologis,
menamakan diri sebagai “Provinsi seribu pulau”, secara filosofis, mengandaikan
sebuah mainstream kesadaran diri sebagai sebuah masyarakat kepulauan
yang teranyam dari serat-serat masyarakat pulau kecil dan besar yang saling
berjauhan, dengan otonomi diri yang multi tipikal serta aneka penampakan
lahiriah dan bathiniahnya yang hakiki dan mendasar. Realitas tersebut, pada
dirinya memiliki: konsep diri (true self) dan tata nilai (value
system), serta kebijaksanaan hidup (local wisdom), dalam sebuah
tatanan habitual[1] yang tidak dapat diganti atau
dihilangkan. Olehnya pengenalan yang jelas tentang filosofi manusia Maluku itu
sendiri adalah sebuah imperatif yang tidak tidak harus diabaikan.
Menurut
Watloly, filosofi manusia Maluku akan membimbing setiap anak negeri dan sesama
yang lain yang berminat mengenal hakikat kemanusiaan anak negeri, untuk secara
kritis mempertanyakan dan mencari jawaban atas berbagai pertanyaan serta
mengupas misteri mengenai apa, siapa dan bagaimana manusia Maluku itu sendiri.
Bahkan filsafat manusia Maluku akan membimbing orang hingga sampai pada sikap
untuk mempertanyakan arti menjadi manusia Maluku, asal datangnya manusia
Maluku, tujuan manusia Maluku setelah mati, asalan manusia Maluku berada di
bumi, martabat terindah manusia Maluku maupun hakekat manusia Maluku itu
sendiri.[2]
Sejalan
dengan Watloly, Elifas Maspaitella dalam mengenal manusia Maluku kita tidak
bisa melepaskannya dengan budaya. Olehnya sketsa filosofi kebudayaan Maluku
membantu kita untuk mengenal segala energi yang menggerakkan manusia untuk
menghasilkan suatu kebudayaan. Mengenal energi yang menggerakkan manusia,
berarti mengenal manusia dengan hasil karyanya. Ini tidak lain dari suatu usaha
mengenal semesta budaya itu dalam seluruh esensi dan eksistensinya; terutama di
dalamnya manusia, sebab manusia adalah suatu produk berbudaya, manusia juga
adalah penghasil budaya, dan manusia kemudian memberi diri diatur oleh sistem
di dalam kebudayaannya.[3]
Hakekat
manusia Maluku pada kenyataannya dapat dilihat dalam falsafah Siwa-Lima,
Lavulngabal, Masohi, Pela, Duan-Lolat, Pukul Sapu, Cuci Negeri, dan sebagainya.
Melalui jendela kebudayaan inilah manusia Maluku menuturkan apa, siapa dan
mengapa dirinya serta bagaimana keharusan untuk menjadi manusia yang aktual dan
fungsional bagi dirinya sendiri maupun gambaran diri sosial dalam membangun
eksistensi sosialnya.
Begitu
luasnya cakupan itu, maka dalam penulisan ini saya mencoba membatasinya ke
dalam upaya untuk menggali falsafah pela, di Maluku Tengah sebagai
ekspresi budaya yang sebetulnya syarat dengan nilai-nilai filosofis dan
mencirikan manusia Maluku yang bukan hanya manusia berpribadi tunggal,
melainkan ekspresi manusia Maluku yang memahami diri kebersamaan sebagai homo
sosial.
Menggali
Falsafah Pela
Jhon Chr.
Ruhulessin dalam disertasinya mengemukakan bahwa sejarah pela di Maluku Tengah
tidak dapat dilepaspisahkan dari mitos masyarakat di Pulau Seram. Pekembangan pela
di Maluku Tengah berhubungan erat dengan terjadinya peristiwa eksodus kelompok
suku yang di sebabkan perpecahan. Hal itu disebabkan terjadinya pertambahan
penduduk sedangkan kapasitas sumber daya alam yang dapat diperoleh terbatas.
Dalam proses migrasi ini tidak dapat dihindari terjadinya perang antar-suku
sebagai upaya mempertahankan diri.[4] Untuk memahaminya, menurut
Ruhulessin dari perkembangan pengertian pela dari peia hingga pela,
dari model kakehan hingga model masyarakat yang makin bergerak ke masa
depan, justru menunjukkan bahwa pela merupakan model yang dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat.[5] Baginya pela memiliki arti
yang mendalam dan syarat dengan makna filosofisnya. Jika Pela, dalam
konteks Maluku hendak dipakai sebagai nilai umum (common values) untuk
terciptanya suatu kehidupan yang lebih baik di masa kini, maka keinginan
itu bukan sesuatu konsep berfikir yang tidak memiliki dasar historis. Itu
berarti untuk memahami pela secara baik maka perlulah melihat sejarah pela
untuk mengeksplorasi nilai dibaliknya.
Sebelum
melangkah jauh, ada baiknya saya mengawalinya dengan mengenal dulu apa itu pela.
Langkah ini kita akan sangat terbantu oleh penjelasan Ruhulessin mengenai pela.
Menurutnya sekurang-kurangnya ada tiga macam pengertian yang dipengaruhi
oleh lingkungan kebahasaan. Pertama, dalam lingkungan kebahasaan
daerah Uli Hatuhaha di pulau Haruku (Pelauw, Kailolo, Kabaue, Rohomoni dan
Hulaliu) kata pela berarti “sudah” ini terlihat pada pengalimatan, “Ale
Pamana Pela” yang artinya apakah kamu sudah makan. Kedua, lingkungan
kebahasaan Uli Solimata di Pulau Ambon (Tulehu, Tenggah-tenggah, dan Tial), Pela
berarti “cukup”, contoh penggunaan bahasa terlihat dalam kalimat “Mahaya
Taha Pela” yang artinya makanan tidak cukup. Istilah Peia sama
dengan istilah “pela nia” yang berarti sampe jua atau
berhentilah.
Ketiga, dalam lingkungan bahasa mayarakat di
Seram di aksarakan dengan kata “peia” yang menujuk pada pengertian
“saudara” yang terambil dari tradisi kakehan[6]. Saudara dalam tradisi kakehan[7] tidak menujuk pada hubungan yang berdasarkan faktor
genelogis melainkan anggota suku. tetapi selain pengertian-pengertian di atas
ada juga asumsi bahwa kata “pela” berasal dari kata “Pila”, yang
berarti buatlah sesuatu untuk kita bersama-sama. Kadang-kadang kata pila
diberi akhiran “tu” menjadi pilatu. Pilatu berarti menguatkan,
mengamankan atau mengusahakan sesuatu benda tidak mudah rusak atau pecah.
Kemudian itu berubah artinya, yaitu dari sesuatu usaha untuk mengamankan atau
menyelamatkan.[8]
Dari semua
pengertian yang terlihat di atas, kita mendapatkan konsep dasar yang
jelas untuk memahami perilaku manusia dalam kaitan dengan Agama. Ada hal-hal
mendasar yang diperlihatkan dalam Pela, yang sangat sarat kandungan
persaudaraan, persahabatan, dan persekutuan.
Untuk lebih
jelasnya dikemukakan beberapa pendapat oleh pakar-pakar budaya:
1. DR. Frank
Cooley, dalam
disertasinya di Yale University mengartikan pela sebagai suatu ikatan
atau hubungan persaudaraan antara seluruh penduduk dari dua desa atau lebih
berdasarkan adat.
“Pela as it
is found at present in Mollucan societies, is an Institutionalized bond of
friendship or brotherhood between all native residents of two or more village,
which bond was established by the ancestors” (F. L. Cooley, 1987: 183).
2. DR.
Dieter Bartels, dalam
disertasinya mengartikan pela sebagai suatu perserikatan atau sistem
persahabatan antara beberapa buah kampung atau negeri.
“The
keystone among several centerpieces is an inter-village alliance system called
pela. Pela as it exist in Ambon today, is a system of relationship tyng
together two or more village, often for apart an frequently on different
island” (Dieter Bartels, 1977: 28-29).
3. DR. Piet
Tanamal, dalam
bukunya “Pengabdian dan Perjuangan”, mengatakan bahwa salah satu bentuk
kekeluargaan dan ikatan persaudaraan yang nilainya tetap kokoh sampai sekarang
ialah hubungan Pela. Istilah pela ini kurang jelas artinya jika
dilihat dari segi Bahasa Tanah Maluku. Di kalangan kelompok masyarakat
Peristiwa di Seram Barat dikenal istilah pela-pela yang berarti simbol atau
gambar yang dilukiskan anggota tubuh dengan pola dan bentuk yang mempunyai
arti atau pesan tertentu. Ia telah menjadi simbol kesatuan dari satu
kelompok. Istilah pela dalam kenyataan menunjuk pada ikatan kesatuan dan
persaudaraan antara dua atau lebih negeri baik Islam maupun Kristen (Tanamal P,
1985 : 18 ).[9]
Pada
dasarnya, ada tiga jenis pela, yaitu (1) pela keras, (2) (pela
gandong atau bungso) dan (3) pela tempat sirih. Pela keras
bermula karena adanya peristiwa besar tertentu, biasanya berkaitan dengan
perang, seperti pertumpahan darah, pertempuran yang tidak berakhir, atau
bantuan luar biasa yang diberikan oleh satu desa kepada desa lain. Jenis pela
kedua didasarkan pada ikatan keturunan keluarga; yaitu, satu atau beberapa
suku/marga di desa-desa yang berbeda mengklaim memiliki leluhur yang sama. Hal
ini dapat mengarah pada kesimpulan sebuah pakta perjanjian antara desa-desa
yang memiliki asal-usul suku/marga yang sama. Pada tahap ini, tali kekerabatan
diteruskan kepada setiap orang di desa-desa yang kemudian bersekutu. Pela
tempat sirih dihasilkan setelah peristiwa kecil, seperti untuk
memulihkan kedamaian, setelah ada pertikaian kecil atau setelah satu desa memberi
bantuan kepada desa lain. Pela ini juga dibuat untuk mendukung hubungan
perdagangan. Untuk semua maksud dan tujuan, pela keras dan pela
keturunan berfungsi dengan cara yang sama. Keduanya dihasilkan melalui sebuah
sumpah kuat yang disertai dengan sanksi kutukan bagi setiap calon pelanggar
perjanjian. Para peserta kemudian meminum ramuan campuran tuak dan darah yang
diambil dari pemimpin dari dua kelompok, setelah pencelupan senjata-senjata dan
benda tajam lain ke dalamnya. Benda-benda ini akan melawan dan membunuh setiap
pelanggar. Pertukaran darah menandakan ikatan persaudaraan tersebut [10].
Dalam
berbagai penjelasan di atas, secara filosofi ternyata, pela bukan
sekedar berhubungan dimaknai sebagai ikatan geneologis. Namun lebih dari
pada itu merupakan ikatan sosial yang melintasi batas-batas kesukuan
maupun agama (Islam atau Kristen)[11] dari tiap-tiap desa/negeri yang berpela.
Pela sebetulnya mencirikan wacana kontekstual (local genius) anak
negeri Maluku yang memberi semacam kode pemikiran dan keyakinan yang memberi
petunjuk tentang mesteri manusia Maluku sebagai keadaan yang bersifat
antropormorphis dan sosia-religius. Bahkan daya eksis dan daya mengada
manusia Maluku sebagai rumpun budaya dan merupakan bukti autentik bahwa
imajinasi adatis dan religius yang mampu memproduksi serta menghadirkan
identitas manusia Maluku untuk memahami dan mentransformasi eksistensi
sejarahnya yang khas. Bahkan dipertegas oleh Watloly sebagai pembentukan
kepribadian diri sebagai brother and sister.[12]
Pela: Sketsa Manusia Maluku Yang Homo
Sosial
Telaah
filosofi manusia Maluku yang tergambar dalam pela di Maluku Tengah
melalui pendekatan sosial-budaya di atas, sebetulnya membantu kita untuk
membongkar dan mengungkapkan aneka kerangka epistemik (pikiran) dan peristiwa
budaya yang hendak menuturkan siapa, mengapa dan bagaimana manusia (Maluku)
itu. falsafah yang mendasari ikatan pela sebetulnya mengimpresikan
pemaknaan manusia Maluku yang tidak saja memiliki makna individual, tetapi
terhisap ke dalam makna sosialitas. Pemaknaan ini memberikan gambaran bahwa
ontologis filsafat budaya Maluku yang tercermin dalam pela adalah suatu
semesta makna yang lahir dari basis-basis nilai bersama, apa yang kemudian
dibahasakan oleh Watloly sebagai mesin eksistensi anak negeri.[13]
Pendasaran ontologis[14] dari pela sebetulnya
mencirikan proses ada atau adaan manusia kepulauan yang tidak
hanya mencirikan bentuk rupa diri, warna kulit dan ego personal semata, namun
lebih daripada itu mengimpresikan aspek dinamis berupa proses sosial yang
menandai dinamika eksistensi manusia kepulauan. Proses sosial ini turut membentuk
berbagai lembaga adatis atau local wisdom sebagai hasil interpertasi
untuk mengatur lakon hidup manusia Maluku dalam pemaknaan sosialitasnya.
Sehingga mungkin benar apa yang dikatakan oleh Marthin Heidegger (filsuf
eksistensialis)[15] menunjukkan bahwa bila hakikat ada
merupakan fakta obyektif dan konstitutif karena menunjuk pada aspek ego
kesosialan masyarakat (kepulauan) maka hakikat keber-ada-annya lebih
menunjuk pada aspek dinamisnya, yaitu aspek aku-engkau (ego-emi) dalam
sebuah pertautan social. Jadi, struktur keberadaan masyarakat kepulauan Maluku
lebih menyangkut peristiwa subyektif, serta nilai rasa yang mendinamisasi
kehidupan sosial atau hubungan sosial (social affairs) masyarakatnya.
Artinya, pandangan masyarakat kepulauan Maluku tentang eksistensinya, merupakan
sebuah konstruksi sosial yang membentuk sebuah pandangan dunia (world view)
tentang keberadaannya yang hakiki dan mendasar yang tercermin dalam pela
tersebut.
Pemaknaan
sosialitas tersebut nampak dalam beberapa asas pela yang terlahir dan
mengikat negeri-negeri yang berpela. Beberapa asas itu diantaranya; (1)
Negeri- negeri yang berpela itu berkewajiban untuk saling membantu pada masa
genting (bencana alam, peperangan,dll), (2) Jika diminta, maka negeri yang satu
itu wajib memberi bantuan kepada negeri yang lain yang hendak melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan demi kepentingan kesejahteraan umum, seperti umpamaya:
pembanguanan rumah gereja, mesjid; dan sekolah;(3) Jikalau seorang mengunjungi
negeri yang berpela itu, orang-orang negeri itu wajib untuk memberi
makanan kepadanya; tamu yang sepela itu tidak usah minta izin untuk membawa
pulang apa-apa dari hasil kebun atau buah-buahan menurut kesukaannya;(4) Semua
penduduk negeri-negeri yang berhubungan pela itu dianggap sedarah; sebab itu
dua orang yang sepela itu tidak boleh kawin karena di pandang sumbang. Tiap
pelanggaran terhadap aturan itu akan dihukum keras oleh nenek moyang yang
mengikrarkan pela itu. Contoh-contoh penghukuman yaitu sakit, mati dan
kesusahan lain yang kena si pelanggar sendiri ataupun anak-anaknya. Jikalau
mereka yang melanggar pantangan kawin itu, ditangkap mereka disuruh berjalan
mengelilingi negeri-negerinya, dengan hanya berpakaian daun kelapa sedangkan
penghuni negeri mencaki makinya. Sebaliknya pula pela tempat sirih diadakan
dengan tiada bersumpah, hanya dengan menukar dan mengunyah sirih bersama, suatu
kebiasaan adat untuk mengaitkan persahabatan antara orang yang tidak mengenal
satu sama lain. Memang pela tempat sirih itu sebetulnya merupakan suatu
perjanjian persahabatan. Kawin-mengawini diperbolehkan dan segala tolong
menolong itu adalah bersifat sukarela dan tidak dituntut mutlak karena ancaman
penghukuman nenek moyang.
Asas-asas pela
sebetulnya mencirikan manusia Maluku yang dalam eksistensinya tidak hanya
mencari makna dan kesejatian hidupnya sebatas dalam hal “men-tubuh”
(pribadi), tetapi “men-sosial”. Atau menghadapkanbukan dirinya bukan hanya
sebagai suatu fakta, tetapi juga masalah sehingga ia akan selalu mempertanyakan
argumentasi-argumentasi mengapa ia ada dan mengapa ia bereksistensi sehingga
mendorongnya untuk pengembangan potensi untuk diri sendiri maupun masyarakat.
Kandungan filosofi pela turut mencirikan manusia Maluku sebagai homo
sosial, yang dalam proses kemenjadiannya mendorong terjadinya
perkembangan-perkembangan yang tidak akan pernah final. Sebagai subyek
yang belum final, manusia Maluku bukanlah hasil ciptaan yang tidak tuntas oleh
Penciptanya. Secara fisik dan psikhis ia diciptakan tuntas, tetapi eksistensi
kemanusiaannya adalah suatu proses menjadi (on being human). Dalam
proses menjadi itu, ia dihadapkan pada apa yang dikatakan Watloly sebagai
globalita dan lokalitanya.[16]
Falsafah pela
sebetulnya membentuk sketsa filosofi manusia Maluku yang lahir dalam budaya dan
diperlakukan sejak dari kandungan sampai meninggal juga dengan kandungan adat
yang konsisten. Adat karena itu menjadi sistem norma yang bisa menjelaskan
eksistensi manusia Maluku baik person maupun komunal. Adat membentuk
basis-basis genealogis, atau asal-usul manusia. Karena itu negeri-negeri kita
lebih bercorak sosio-genealogis, ketimbang sosio-politis. Keterpautan adat dan
eksistensi ini yang mungkin juga dimaknai Jacques Derrida[17] tentang kemurnian eksistensi.
Artinya eksistensi manusia itu tidak bisa dihindarkan, walau sering ada juga
ketidakmurnian. Maksudnya bisa saja suatu eksistensi yang dipahami bersumber
dari “asal usul” yang tampaknya sederhana bisa datang dari yang “bukan asal
usul”.
Ungkapan-ungkapan
seperti “katong samua orang basudara” maupun “ale rasa, beta rasa” sebetulnya
mencerminkan sketsa manusia Maluku yang tidak hanya berhubungan secara faktor
geneologis semata, namun lebih daripada itu mengeskpresikan manusia Maluku
sebagai makhluk sosial yang sangat adatis. Dalam pela tercermin
pemaknaan manusia Maluku yang sangat menjunjung tinggi kolektifitas atau
kebersamaan sebagai orang basudara tadi. Sehingga tidak jarang kalau ikatan berpela
ini turut membentuk perilaku dan sikap hidup manusia Maluku, khususnya Maluku
Tengah. Hal ini nampak juga dalam berbagai relasi sosial, termasuk
konflik-konflik sosial. Jika ada dua negeri/desa yang berkonflik, maka akan
membangkitkan semangat solidaritas dari desa/negeri lain yang berpela
dengan desa/negeri yang bertikai tadi. Perasaan solidaritas itupun nampak dalam
setiap eksistensi anak negeri Maluku, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu
tertentu. Bahkan tidak jarang, upaya untuk menghidupkan kembali semangat
solidaritas diantara negeri-negeri atau desa-desa yang berpela maka ada
kesepakatan-kesepakatan untuk mengadakan “panas pela”. Panas pela
dimaksudkan untuk kembali membentuk atau memanasi lagi semangat solidaritas
diantara dua atau lebih negeri/desa yang berpela yang menembusi
batas-batas perbedaan apapun.
Penutup
Demikian
seadanya beberapa pikiran yang dianyam dari telaah filosofi yang dangkal,
khususnya menggali tradisi pela di Maluku Tengah. Semoga menjadi bahan
dasar untuk didebatkan kemudian. Sekian !!!
Daftar
Bacaan
Cooley
Frank., Mimbar dan Takhta, Jakarta: PT. Sinar Harapan, 1987.
Lechte,
John., 50 Filsuf Kontemporer, Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas,
Yogyakarta: PT. Kanisius, 2001.
Maspaitella,
Elifas Tomix., filsafat Manusia Maluku Dalam Kerangka Filsafat Kebudayaan
Dan Teori Sosial, Ambon, 2008
Panitia
Khusus Panas Pela., “Sama-suru Amalatu [Ameth] Hua Resirehung [Ema],
kumpulan dokumen sejarah Pela, 1971.
Pattikayhatu,
J. A., Budaya Pela dan Gandong di Maluku Tengah, Ambon, 2005.
Ruhulessin,
Jhon Chr., Etika Publik; Menggali Tradisi Pela Dari Pela di Maluku,
(Disertasi, Program Pasca Sarjana), Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga,
2005.
Tanamal,
Pieter., Pengabdian dan Perjuangan, Ambon, 1985.
Watloly,
Aholiab., Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri,
Yogyakarta: Kanisius, 2005.
———————., Filosofi
Masyarakat Kepulauan, Orasi Ilmiah pada Dies Natalis Unpatti yang ke-44,
Ambon, 5 Mei 2007.
———————., Buku
Ajar Filsafat Masyarakat Kepulauan, Program Pasca Sarjana, Universitas
Pattimura, Ambon, 2009.
Footnote:
[1]
Habitual, dalam penulisan ini, menunjuk pada sebuah lingkungan
keberadaan, yaitu lingkungan keberadaan masyarakat kepulauan Maluk yang
memiliki keterikatan bathiniah dengan alam, tradisi, serta adat, kebiasaan
dalam sebuah tatanan sosial yang solid dan utuh.
[2] Aholiab Watloly, Maluku Baru ;
Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2005),
hal 201-203.
[3] Elifas Tomix Maspaitella, filsafat
manusia Maluku dalam kerangka filsafat kebudayaan dan teori sosial,
tulisan yang dipubilkasikan lewat http/:kutikata.blogspot.com
[4] Jhon Chr. Ruhulessin, Etika
Publik; Menggali tradisi pela dari pela di Maluku, (Disertasi,
Program Pasca Sarjana), Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2005, hlm.
147.
[5] Untuk memahami pela dengan demikian
mesti dapat mengikuti proses perkembangannya secara historis.
Perubahan-perubahan sosial masyarakat juga turut membentuk pela itu sendiri.
[6] Kakehan artinya Persekutuan
rahasia. Biasanya calon anggota kakehan adalah anak-anak usia dewasa, setelah
itu mereka di himpun dan di bawah ke hutan di mana tempat itu menjadi rahasia.
Disana mereka dilantik dengan upacara, proses mereka selama kurang lebih tiga
hari. Tanda bahwa mereka telah menjadi anggota kakehan adalah di beri Tatoo.
Setelah itu mereka dilatih lagi selama beberapa bulan di rumah kakehan, mereka
diajarkan “supaya hidup bijaksana, baik, sopan terhadap keluarga dan
orang-orang sekitarnya, serta menjaga persekutuan/persaudaraan dalam kakehan
(Jhon Chr. Ruhulessin, loc.cit.).
[7] Tradisi kakehan berkembang
dalam masyarakat Pulau Seram (Nuaulu) dalam rangka menghadapi ancaman dari
pihak luar (Jhon Chr. Ruhulessin, ibid.).
[8] Bersumber dari kumpulan dokumen
sejarah Pela “Sama-suru Amalatu[Ameth] Hua Resirehung [Ema] yang di buat
oleh panitia khusus Panas Pela, 1971: 2.
[9] Bagian peper “Budaya Pela dan
Gandong di Maluku Tengah” oleh Prof. J. A. Pattikayhatu, 2005, hlm 2-3.
[11] Bahkan dalam penuturan sejarah pela
telah bertumbuh jauh sebelum masuknya agama yang dibawah oleh orang-orang dari
dunia luar.
[12] Lihat Aholiab Watloly, op cit, hal.
208.
[13] Istilah “Mesin Eksistensi Anak Negeri”
adalah istilah filsafati yang digunakan A. Watloly dalam menunjuk suatu energi
sosial dan budaya yang terstruktur di dasar kehidupan masyarakat Maluku, yaitu
di dalam budayanya. Kita mungkin bisa mengidentikkan istilah itu dengan “local
genus” atau kearifan lokal, tetapi mesin eksistensi anak negeri lebih mengarah
pada suatu dinamika personal dan komunalitas yang bangkit kembali di tengah
tindisan dan gempuran budaya postmodernisme. Baca. Aholiab. Watloly, Maluku
Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri, Yogyakarta: Kanisius, 2005
[14] Ontologi adalah cabang
filsafat yang mempelajari hakikat ada dan keberadaan. Baginya,
sebuah ada tidak diadakan oleh dirinya sendiri, tetapi oleh ada lainnya
(situasi maupun pihak lain), sebagai penyebab ada (causa
prima). Karenanya, menganalisis sesuatu ada (berupa diri atau
realitas non diri) harus dalam konteks keberadaan yang mengadakannya.
Artinya, jiwa temperamental, seni, dan sebaginya yang merupakan ciri actual
masyarakat Maluku harus diselami dalam konteks keberadaanya sebagai masyarakat
kepulauan yang dibentuk oleh lingkungan social, kejiwaan alami, maupun fisik
geografisnya (lihat. Aholiab Watloly, Buku Ajar Filsafat Masyarakat Kepulauan,
Program Pasca Sarjana, Universitas Pattimura, Ambon, 2009), hal. 14.
[15] Sebagaimana yang dikutib oleh
Aholiab. Watloly dalam Orasi Ilmiah pada Dies Natalis Unpatti yang ke-44, Filosofi
Masyarakat Kepulauan, Ambon 5 Mei 2007, hal. 10.
[16] Aholiab. Watloly, Maluku Baru:
Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2005),
hal. 208-209.
[17] Bnd. John Lechte, 50 Filsuf
Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, (Yogyakarta:
PT. Kanisius, 2001), hlm. 170