TELAAH KONSTITUSIONAL PENGATURAN IMPEACHMENT PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM
MEWUJUDKAN DEMOKRASI
Eric
S. Holle, SH.,MH
A. Latar Belakang
Indonesia
adalah negara kesatuan berbentuk republik yang merupakan negara hukum.
Pengertian tersebut ialah salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan
dalam UUD 1945 sebagai prinsip negara hukum. Prinsip tersebut tertuang dalam
Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum. Secara historis, negara hukum adalah negara yang diidealkan oleh para
pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 tentang
sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas
hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas
peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan
tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang
dilakukan.
Presiden
sebagai pemegang kekuasaan penyelenggaraan negara Republik Indonesia seperti
diamanahkan konstitusi UUD 1945 memiliki tanggung jawab penuh dalam hal kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden
dibantu oleh seorang wakil presiden yang kemudian bertindak sebagai lembaga
eksekutif negara. Pembagian kekuasaan di Indonesia menempatkan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Pemerintahan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif dan menempatkan Mahkamah
Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yudikatif yang
dilengkapi Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga negara pengawasan. Pembagian
kekuasaan negara tersebut bertujuan memenuhi mekanisme check and balances.
Mekanisme ini berwujud saling mengawasi satu sama lain sehingga
pertanggungjawaban setiap lembaga negara kepada rakyat lebih transparan.
Berlakunya mekanisme saling mengawasi antar lembaga negara di Indonesia juga
untuk mengurangi penyalahgunaan wewenang (detournement) yang kiranya
sering terjadi dewasa ini.
Ketika
presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu
pemilihan umum dinilai sudah tidak mampu menjalankan pemerintahan negara karena
sebab-sebab yang telah ditentukan oleh UUD 1945, lembaga legislatif yang
bertugas mengawasi jalannya pemerintahan yang dipimpin presiden dapat memberi
mosi tidak percaya atas nama parlemen yang kemudian diajukan ke lembaga
yudikatif dalam hal ini Mahkamah Konstitusi untuk diputuskan presiden dan/atau
wakil presiden pantas untuk diberhentikan dari jabatannya atau tidak, kemudian
sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan gabungan
DPR dan DPD untuk menentukan pemberhentian Presiden dari jabatannya. Tentu saja
mekanisme pemberhentian Presiden di Indonesia yang secara tersirat ditentukan
dalam UUD 1945 menyatakan bahwa ketika Presiden diberhentikan dari jabatannya
maka Wakil Presiden juga diberhentikan karena “satu paket” dipilih dalam
pemilihan umum yang demokratis.
Melihat ke
belakang, dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia telah terjadi
pemberhentian presiden sebanyak dua kali yaitu pada masa Presiden Soekarno dan
Presiden Abdurrahman Wahid. Hal yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa
ketatanegaraan tersebut ialah sengketa anatara dua lembaga negara yakni DPR
yang di satu sisi berhadap-hadapan dengan Presiden di sisi yang lain. Sejarah
mencatat perseteruan antara DPR dengan Presiden di Indonesia yang pertama kali
terjadi adalah pada tahun 1966-1967 dimana Presiden Soekarno memberi progress
report kepada MPRS. Secara de facto, perkembangan situasi kenegaraan
yang terjadi pada waktu itu memang tidak memihak kepada Presiden Soekarno.
Dengan kata lain, secara politis dukungan kepada Presiden Soekarno sangat kecil
atau hampir habis. Sehingga dalam Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, MPRS
mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari tangan Presiden Soekarno dengan
Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Substansi ketetapan MPRS tersebut juga
termuat yang menggantikan kedudukan Presiden yaitu Jenderal Soeharto.
Perseteruan
antara DPR dengan Presiden yang kedua kalinya terjadi pada tahun 2001 dimana
antara DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1999 dengan Presiden Abdurrahman Wahid
yang diangkat oleh MPR hasil Pemilu 1999 mengalami perseteruan yang berlanjut
mosi tidak percaya DPR atas Presiden Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa
Gus Dur. Atas mosi tidak percaya hasil perseteruan tersebut kemudian berlanjut
pemberhentian atau lengsernya Presiden Abrurrahman Wahid dari jabatan
kepresidenan melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2001 dengan Ketetapan MPR No.
III/MPR/2001. Dalam TAP MPR tersebut dimuat materi pencabutan kekuasan negara
dari tangan Presiden Abdurrahman Wahid yang digantikan oleh Megawati
Soearnoputri sebagai Wakil Presiden saat itu. Kemudian jabatan Wakil Presiden
digantikan oleh Hamzah Haz berdasarkan ketetapan tersebut. (Soimin, 2009:2)
Dari sejarah
ketatanegaran yang diuraikan diatas, pemberhentian jabatan Presiden di tengah
masa jabatan dari kedua peristiwa tersebut seringkali dalam ilmu hukum tata
negara menyebutnya dengan kekuasaan “impeachment”. Pranata kekuasan impeachment
dalam sistem ketatanegaran di beberapa negara belahan dunia seringkali
digunakan untuk melakukan pemberhentian jabatan yang berada pada kekuasaan
eksekutif (executive of power). Kebiasaan kenegaraan yang sering terjadi
dalam pelaksanaan pemberhentian jabatan dari kekuasaan eksekutif yang
disebabkan oleh pranata impeachment adalah karena melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu, pemberhentian
Presiden dari jabatannya juga dapat disebabkan oleh aspek-aspek lain yang
sangat kuat namun tidak sepenuhnya tersurat dalam peraturan perundang-undangan.
Kita melihat fenomena pemberhentian Presiden Soeharto di awal era reformasi
yang tatkala itu berhenti dari jabatannya bukan disebabkan karena diberhentikan
atau di-impeachment oleh MPR, melainkan mengundurkan diri dari jabatan
Presiden akibat adanya desakan dari seluruh rakyat Indonesia yang tidak percaya
lagi terhadap kepemimpinannya sehingga Presiden Soeharto harus berhenti dari
jabatannya. Namun pemberhentian Presiden Soeharto menimbulkan makna yaitu
dilanggarnya ketentuan konstitusi UUD 1945 atau dengan kata lain menyalahi
konstitusi (inkonstitusional).
Dimulainya
era reformasi dilakukan pula amandemen konstitusi yaitu UUD 1945 yang kemudian
dimunculkan beberapa gagasan dan pemikiran untuk memperkuat kekuasaan yudikatif
negara. Terkait hal tersebut maka mutlak diperlukan pembentukan lembaga negara
yang dapat menjadi pengawal dan penjaga UUD 1945 dari penyimpangan-penyimpangan
kekuasaan (abuse of power). Karena seringkali terjadi konflik antar
lembaga negara yang sebenarnya dilatarbelakangi kepentingan penguasa yang
berakibat saling menjatuhkan satu sama lain sebagaimana pernah terjadi pada
masa pemerintahan Presiden Soekarno dengan dibubarkannya DPR. Selain itu juga
terjadi pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang dengan mudahnya
seorang Presiden diberhentikan oleh MPR. (Hamdan Zoelva, 2005:67-68).
Sampai dengan
saat ini masih diperlukan kajian yang mendalam mengenai impeachment ketika
terjadi kasus yang sangat besar dan diduga melibatkan pejabat negara misalnya
dugaan keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam kasus bailout Bank
Century senilai 6,7 triliun rupiah. Kasus yang mencuat dan menjadi perdebatan
hampir seluruh elit negara pada medio awal tahun 2010 tersebut sangat menyita
perhatian seluruh masyarakat di Indonesia karena dugaan adanya tindakan
menyimpang yang diduga dilakukan oleh Wakil Presiden Boediono sebelum menjabat
sebagai Wakil Presiden yaitu ketika menjabat Gubernur Bank Indonesia. Kasus
tersebut menjadi perhatian seluruh elit politik negara yang sebagian besar
berkesimpulan bahwa Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya karena
diduga kuat terlibat kasus bailout Bank Century tersebut yang dianggap
merugikan negara triliunan rupiah. Desakan impeachment yang begitu kuat
oleh sebagian besar partai oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Wakil
Presiden Boediono sebenarnya masih terlalu dini dan tergesa-gesa. Proses impeachment
dalam konstitusi Republik Indonesia memang mengatur pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil dengan jelas secara tersurat. Namun kita juga harus melihat
secara sistematis proses Presiden dan Wakil Presiden yang di Indonesia dipilih
secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia dalam “satu paket”. Apabila Wakil
Presiden diberhentikan dari jabatannya, secara etika kenegaraan memiliki
konsekuensi bahwa Presiden juga harus diberhentikan dari jabatannya. Apabila
benar Presiden dan Wakil Presiden telah diberhentikan maka akan berakibat hukum
yang kiranya lebih berbahaya bagi negara yaitu “facum of power” karena
untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden harus menyelanggarakan Pemilihan Umum
yang memerlukan waktu yang lama dengan biaya yang tidak sedikit pula ditanggung
oleh negara. Hal ini mengakibatkan perdebatan panjang jika hanya untuk meminta
pertanggungjawaban presiden ataupun wakil presiden serta merta harus
dilaksanakan dengan mekanisme impeachment. Proses impeachment yang
hanya terdapat aturannya dalam konstitusi itu kiranya lebih bersifat sebagai
langkah terakhir dalam meminta tanggung jawab negara yang diemban oleh pemimpin
negara khususnya presiden dan wakil presiden. Sejarah ketatanegaraan Indonesia
menyatakan bahwa dasar dilakukannya impeachment oleh lembaga-lembaga
negara yang mengakomodasinya cenderung kepada penilaian subjektif sebagai
alasan presiden diberhentikan dari jabatannya. Namun dapat dimaklumi bahwa pada
saat terjadi impeachment itu, konstitusi negara yakni UUD 1945 sebelum
amandemen sama sekali tidak mengatur mekanisme pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden.
Problematika
ketatanegaraan tentang impeachment diatas memberikan pemahaman bahwa
perlu adanya negara pembanding guna menilai secara konstitusional pengaturan
impeachment dalam hal penentuan kepastian hukum.
B. Rumusan Masalah
Adapun
permasalahan yang penulis ketengahkan dan hendak diketemukan jawabannya dalam
penelitian ini adalah Bagaimana
seharusnya pengaturan impeachment Presiden dan Wakil Presiden dalam
Konstitusi Republik Indonesia sebagai negara demokrasi?
C. Kerangka Teori
1.
Tinjauan
Tentang Impeachment
a.
Pengertian
Impeachment dalam Sistem Kenegaraan
Menurut Jimmly Asshiddiqie, Impeachment berasal
dari bahasa Inggris yaitu “to impeach”.
Dalam kamus bahasa Inggris maupun kamus-kamus hukum to impeach artinya
memanggil atau mendakwa untuk meminta pertanggungjawaban. Dalam hubungannya
dengan kedudukan kepala negara atau kepala pemerintahan, impeachment berarti
pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas persangkaan
pelanggaran hukum yang dilakukannya dalam masa jabatan. Dengan demikian
penggunaan pranata impeachment dalam sistem hukum yang sering digunakan
terutama menurut hukum tata negara lebih diproyeksikan pada ketentuan
pelanggaran hukum yang tidak hanya disebabkan karena faktor politik. Meskipun
dalam praktik pelaksanaannya pranata impeachment itu ditujukan bukan
hanya kepada kekuasaan Presiden sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan
melainkan setiap jenjang jabatan yang ada pada struktur pemerintahan negara
baik negara yang berbentuk sistem presidensiil maupun parlementer. (Soimin,
2009: 9)
Jimmly Asshiddiqie menyatakan bahwa impeachment bukan
merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi
negara dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan
tuduhan atau dakwaan sehingga pranata impeachment lebih menitikberatkan
dalam hal prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya
Presiden atau pejabat tinggi negara dari jabatannya. Hal ini berlaku pada
sistem pemerintahan baik pemerintahan itu presidensiil maupun parlementer.
Karena secara historis praktik impeachment itu untuk memproses
pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang “powerfull”, yang diduga
terkait kasus korupsi atau hal-hal lain yang bukan merupakan kewenangan
pengadilan konvensional.
b.
Batasan Hukum Istilah Impeachment
Munir Fuady dalam bukunya Teori Negara Hukum Modern (Rechsstaat) menyatakan bahwa model
penyebutan istilah “kesalahan berat” yang dapat dijadikan dasar bagi suatu
proses impeachment, diantaranya terdapat istilah-istilah sebagai berikut
:
1) Melakukan
kesalahan berat.
2) Melanggar haluan negara sebagaimana
yang berlaku di Indonesia sebelum UUD 1945 amandemen.
3) Melakukan
pengkhianatan (treason), suap menyuap (bribery), dan kelalaian
serta kejahatan berat lainnya (other high crimes and misdemeanors)
sebagaimana yang terdapat dalam konstitusi federal Amerika Serikat.
4) Melakukan penyalahgunaan kekuasaan
yang serius (serious abuse of power).
5) Melakukan pengkhianatan yang serius
(a gross breach of trust).
6) Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen Pasal 7A, impeachment dapat
dilakukan terhadap presiden dan/atau wakil presiden berdasarkan alasan-alasan
sebagai berikut :
a) Telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara.
b) Telah melakukan korupsi.
c) Telah melakukan penyuapan.
d) Telah melakukan tindak pidana berat lainnya.
e) Telah melakukan perbuatan tercela.
f) Telah terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. (Munir Fuady, 2009:155-156)
Berkaitan
dengan batasan hukum istilah impeachment diatas, penulis dalam
penelitian ini hendak menegaskan bahwa perihal permasalahan penelitian yang
diangkat menyangkut dasar hukum pengaturan impeachment presiden dan wakil
presiden adalah termasuk dalam ruang lingkup konstitusinalisme. Selanjutnya
pengkajian mengenai pengaturan impeachment presiden dan wakil presiden
dalam konstitusi Republik Indonesia dan Amerika Serikat akan merujuk kepada
batasan-batasan yang ada dalam kajian perbandingan konstitusi secara formal
yang terbatas pada pasal-pasal dalam konstitusi dan lembaga-lembaga negara yang
diberi wewenang dalam proses impeachment.
2. Tinjauan Tentang Konstitusi dan Konstitusionalisme
a.
Konstitusi
Konstitusi menurut K. C. Wheare
merupakan hasil seleksi dari peraturan-peraturan hukum yang mengatur
pemerintahan negara dan telah diwujudkan dalam sebuah dokumen. Pendapat lain
mengemukakan bahwa, “konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pedoman dalam
penyelenggaraan negara. Dalam konstitusi diatur bagaimana poros-poros kekuasaan
bekerja dan saling berhubungan, serta hak-hak dasar warga negara” (Firmansyah
Arifin, 2005:19).
L. J. Van Apeldorn memberikan
pengertian yang jelas antara konstitusi dan undang-undang dasar (grondwet).
Grondwet adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi. Sedangkan
konstitusi (constitution) memuat baik peraturan yang tertulis maupun
tidak tertulis. Sementara pendapat Sri Soemantri menyatakan bahwa konstitusi
adalah sama dengan Undang-Undang Dasar. Persamaan istilah konstitusi dengan
undang-undang dasar kiranya lebih relevan jika dilihat dari praktik
ketatanegaraan yang telah berlaku di sebagian besar negara saat ini termasuk
Indonesia.
Keberadaan
konstitusi tidak bisa dilepaskan dari keberadaan negara. Sebagaimana diketahui,
negara adalah suatu organisasi kekuasaan. Dalam setiap negara betapapun
kecilnya, selalu terdapat bermacam-macam lingkungan kekuasaan, baik yang berada
dalam suprastruktur politik maupun infrastruktur politik.
Sedangkan kekuasaan, adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak pihak lain atau
mengendalikan keinginan dan kehendak orang lain. Sebaliknya, kekuasaan dapat
disalahgunakan oleh yang memegangnya yang akan menimbulkan kesewenang-wenangan.
Maka dimana terdapat organisasi negara dan kebutuhan menyusun suatu
pemerintahan negara, akan diperlukan selalu adanya Undang-Undang Dasar (UUD)
atau konstitusi. Ini berarti UUD atau Konstitusi bersumber dari paham tentang
pemerintahan yang terbatas kekuasaannya. UUD atau Konstitusi dipergunakan untuk
memaksakan pembatasan-pembatasan (Bagir Manan dan Kuntana Magnar,1993:73).
Menurut
Sri Soemantri dalam bukunya Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi (1979),
substansi Konstitusi sekurang-kurangnya memuat :
1) Jaminan
terhadap hak-hak asasi (dan kewajiban asasi) manusia dan warga negara.
2) Susunan
ketatanegaraan yang bersifat mendasar.
3) Pembagian
dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat mendasar. (Dahlan
Thaib,1989:15)
b.
Konstitusionalisme
Menurut
Carl J. Federich, Konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan
suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang
tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa
kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan tidak disalahgunakan oleh mereka
yang mendapat tugas untuk memerintah (Miriam Budiharjo, 1991: 57).
Ajaran
negara berkonstitusi (constitutionalism) yang secara esensial mengandung
makna pembatasan kekuasaan pemerintahan (limited goverment) dan
perlindungan hak-hak rakyat dari tindakan kesewenang-wenangan pemerintahan
terutama yang menyangkut hak asasi manusia atau hak dasar rakyat . Pembatasan
kekuasaan ini dalam arti horizontal atau vertikal termasuk pembatasan waktu
(Sri Soemantri sebagaimana dikutip Bagir Manan, 2003: 75).
J. G.
Steenbeek menyatakan bahwa “Pada umumnya Undang-Undang Dasar atau konstitusi
berisi tiga hal pokok, yaitu : pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak
asasi manusia dan warganegara; kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan
suatu negara yang bersifat fundamental; dan yang ketiga, adanya pembagian dan
tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental”. (Bagir Manan dan Kuntana
Magnar, 1993: 72).
3. Tinjauan Tentang Lembaga
Kepresidenan
Lembaga
Kepresidenan adalah bagian dari lembaga Negara. Lembaga Negara secara definitif
bermakna alat-alat kelengkapan suatu negara atau lazimnya disebut sebagai
lembaga negara. Yaitu institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan
fungsi-fungsi negara (M. Kusnardi dan Bintan Siragih, 2000:241). Lembaga negara
atau bisa disebut sebagai alat-alat kelengkapan negara menjadi satu kesatuan
yang tak terpisahkan dengan keberadaan negara. Keberadaan alat kelengkapan
negara menjadi keniscayaan untuk mengisi dan menjalankan negara. Pembentukan
lembaga negara sendiri merupakan manifestasi dari mekanisme keterwakilan rakyat
dalam menyelenggarakan pemerintahan (Firmansyah Arifin, 2005:14). Yang dimaksud
dengan lembaga kepresidenan adalah institusi atau organisasi jabatan yang dalam
sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 berisi dua jabatan yaitu presiden dan
wakil presiden. (Jimmly Asshiddiqie, 2005:59). Lembaga kepresidenan (Presidential
Institution) sendiri dalam penyelenggaraan negara berkaitan dengan bentuk
negara republik. Dalam bahasa Indonesia, perkataan presiden dipergunakan dalam
dua arti yaitu lingkungan jabatan (ambt) dan pejabat (ambtsdrager).
Menurut UUD 1945, penggunaan kata presiden menunjukkan pejabat. Tetapi karena
presiden adalah pemangku jabatan kepresidenan, dengan sendirinya dalam UUD 1945
dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai presiden
sekaligus mengandung pula makna pengaturan lingkungan jabatan kepresidenan
(Bagir Manan, 2003:19).
D. Pembahasan
1.
Praktik Impeachment Presiden dalam Sejarah Ketatanegaraan Republik
Indonesia.
Proses pemberhentian Presiden dari jabatannya atau
yang dikenal dengan istilah pemakzulan (impeachment), di dalam praktik
ketatanegaraan Indonesia menjadi suatu alat kontrol lembaga legislatif terhadap
lembaga eksekutif ketika pemerintahan berjalan. Kiranya dalam menjalankan
kekuasaan negara ketika pemerintahan berjalan seringkali terjadi penyimpangan
dan penyalahgunaan wewenang (detournement) yang dilakukan oleh pejabat
eksekutif negara dalam hal ini Presiden. Permasalahan ini merupakan konsekuensi
dari sistem pemerintahan presidensiil yang dianut Indonesia dengan menempatkan
seorang Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Pengalaman sejarah ketatanegaraan Indonesia memaparkan
penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan negara yang dilakukan oleh kepala
eksekutif negara untuk mempertahankan kekuasaanya menjadi pemantik pranata impeachment.
Pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru yang menganut konstitusi UUD
1945 dapat ditarik makna bahwa akibat dari penyimpangan dan penyelewengan
kekuasaan itu tekadang menimbulkan ekses buruk bagi penyelenggaraan negara
karena adanya suatu pengawasan yang dilakukan oleh kekuasaan legislatif. Dan
bukti yang diperoleh dari sejarah bangsa Indonesia itu, dalam sistem
ketatanegaraannya juga pernah memberhentikan seorang Presiden dari kursi
kekuasaannya, yakni pada masa pemerintahan Orde Lama di bawah pimpinan Presiden
Soekarno dengan sistem Demokrasi Terpimpinnya. Kemusian pada masa pemerintahan
Orde Reformasi di bawah pimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dengan sistem
demokrasi konstitusionalnya. Dan kedua pemimpin Republik Indonesia yang pernah
menjabat sebagai Presiden harus berakhir karena diberhentikan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Berikut penulis kemukakan proses impeachment presiden Soekarno
dan Abdurrahman Wahid :
a. Proses Impeachment Presiden Soekarno
Awal mula
terjadinya proses impeachment terhadap Presiden Soekarno adalah karena situasi
dan kondisi politik negara yang instabilitas nasional disebabkan karena adanya
peristiwa G.30S/PKI, disusul kemudian terjadinya krisis ekonomi nasional yang
disebabkan karena tidak menentunya sistem politik negara, ditambah lagi dengan
krisis moralitas masyarakat yang terjadi dengan maraknya kriminalitas di hampir
seluruh wilayah negara Indonesia. Kekacauan situasi dan kondisi negara seperti
itu memicu perseteruan antara Presiden Soekarno dengan MPRS yang pada akhirnya
memunculkan pertanggungjawaban Presiden Soekarno di hadapan sidang MPRS dengan
sebutan ”Pidato Nawaksara” yang disampaikan pada tanggal 22 Juni 1965.
Penyampaian laporan pertanggungjawaban Soekarno di hadapan sidang MPRS
tersebut, sesungguhnya merupakan permintaan Presiden sendiri tanpa ada
permintaan dari MPRS.
Dalam rapat pimpinan MPRS yang berturut-turut
dilaksanakan tanggal 20-21 Januari 1967, menyimpulkan antara lain Presiden
Soekarno alpa memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusional yang dibuktikan dalam
Surat Presiden No.01/Pres/67, yaitu mengingkari keharusan bertanggung jawab
kepada MPRS dan hanya menyatakan semata-mata bertanggung jawab mengenai GBHN
saja. Di samping itu, MPRS juga menganggap bahwa Surat Presiden No.01/Pres/67
lebih merupakan surat jawaban atas Nota Pimpinan MPRS No.2/Pim.MPRS/1966, bukan
pelengkap Nawaksara yang ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.
Kemudian dalam gagasannya, Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR GR) menganggap bahwa Presiden setidak-tidaknya telah
melanggar haluan negara yang ditetapkan dalam UUD 1945 dengan dasar bahan-bahan
dan fakta-fakta yang terungkap. Atas pertimbangan itulah DPR GR meminta MPRS
untuk menetapkan penyelenggaraan Sidang Istimesa MPRS yang diselenggarakan pada
tanggal 7-11 Maret 1967 di Jakarta. Proses hasil Sidang Istimewa MPRS dengan
berbagai pertimbangan MPRS dengan Keputusan Pimpinan MPRS No.13/B/1967, menolak
Pidato Pelengkap Nawaksara dengan alasan-alasan pokok sebagai berikut :
1) Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi
pertanggungjawaban konstitusional sebagaimana layaknya seorang mandataris
terhadap MPRS.
2) Presiden Soekarno telah tidak dapat
menjalankan haluan dan putusan MPRS, sebagaimana layaknya seorang mandataris
terhadap MPRS.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka dalam Sidang
Istimewa MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang
Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno dengan
alasan-alasan sebagaimana tercantum dalam pertimbangan antara lain :
1. Pidato Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara tidak
memenuhi harapan rakyat pada umumnya dan anggota MPRS pada khususnya karena
tidak memuat secara jelas pertanggungjawaban tentang kebijaksanaan Presiden
mengenai pemberontakan kontra revolusi G.30 S/PKI beserta epilognya, kemunduran
ekonomi dan kemerosotan akhlak bangsa.
2. Pengumuman penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno
kepada Jenderal Soeharto pada tanggal 20 Februari 1967.
3. Adanya petunjuk-petunjuk bahwa Presiden Soekarno telah
melakukan gerakan politik yang secara tidak langsung menguntungkan G.30 S/PKI
dan melindungi tokoh-tokoh G.30 S/PKI sesuai laporan tertulis Panglima Operasi
Keamanan dan Ketertiban tanggal 1 Februari 1967 dan dilengkapi pidato laporan
di hadapan Sidang Istimewa MPRS.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan TAP MPRS
tersebut telah mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno
dan MPRS juga menetapkan pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat
Presiden Republik Indonesia. Dari proses pemberhentian Presiden Soekarno
diatas, kiranya selama berlakunya kembali UUD 1945 setelah adanya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 hingga jatuhnya Presiden Soekarno tahun 1967, pengaturan
mengenai impeachment belum memiliki kejelasan secara konstitusional
karena pemberhentian Presiden Soekarno lebih disebabkan oleh alasan
subjektivitas mayoritas anggota MPRS yang tidak menerima pidato
pertanggungjawaban Presiden Soekarno. Berhentinya kekuasaan pemerintahan negara
dari Presiden Soekarno pada saat itu menunjukkan pranata impeachment yang
terkesan “dipaksakan” oleh MPRS dikarenakan tidak ada aturan dalam konstitusi
negara mengenai impeachment itu sendiri.
b. Impeachment Terhadap Presiden
Abdurrahman Wahid
Dalam proses impeachment Presiden Abdurrahman
Wahid ini merupakan ekses dari konflik politik yang rumit (complicated)
sehingga Presiden diberhentikan dari jabatannya. Beberapa masalah yang muncul
sebelum Presiden Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur dicabut mandatnya
oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR 23 Juli 2001 diantaranya indikasi
penyalahgunaan dana bulog dan dana Brunei Darrussalam yang dilakukan Presiden.
Penyalahgunaan wewenang lainnya yang dianggap MPR kesalahan konstitusional
Presiden adalah melakukan pergantian jabatan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia (Kapolri)
Jenderal (Pol) S. Bimantoro tanpa persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Konflik politik lain yang memanas dalam hal ini adalah
Presiden Abdurrahman Wahid sering mengeluarkan statement yang bernada
ancaman akan mengeluarkan Dekrit Presiden jika tidak tercapai kompromi politik
yang terjadi antara Presiden dan DPR/MPR.
Kemudian atas dasar alasan-alasan kesalahan Presiden
yang telah dilakukan, DPR mengajukan memorandum pertama yang berisikan tentang
dugaan keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam Kasus Bulog (Buloggate)
dan Kasus Brunei (Bruneigate). Berdasarkan hasil kerja dan kesimpulan
Panitia Khusus DPR yang menduga adanya keterlibatan Presiden dalam kasus
tersebut, maka dalam Sidang Paripurna DPR RI memutuskan untuk menerima dan
menyetujui laporan hasil kerja Pansus dan memutuskan untuk ditindaklanjuti
dengan menyampaikan “memorandum” untuk mengingatkan bahwa Presiden Abdurrahman
Wahid sungguh melanggar haluan negara, yaitu :
1. Melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan.
2. Melanggar Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.
Atas dasar petimbangan tersebut, DPR meminta MPR untuk
menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden
Abdurrahman Wahid. Kemudian MPR menetapkan jadwal Sidang Istimewa yang akan
dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 2001. Namun yang terjadi ternyata justru
MPR mengajukan jadwal sidang istimewa menjadi tanggal 21 Juli 2001, sepuluh
hari lebih cepat dari jadwal semula. Percepatan jadwal sidang istimewa ini
dilakukan karena alasan perkembangan situasi dan kondisi politik yang semakin
memburuk yang mengancam integritas bangsa dan negara. Hal ini disebabkan juga
karena ternyata Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 Juli 2001 dini hari
pukul 01.05 WIB mengumumkan Maklumat Presiden Gus Dur.(Ni’matul Huda, 2003:
174-175)
Dilakukannya langkah politik Presiden yang mengejutkan
itu kemudian dibalas oleh mayoritas anggota DPR dengan tidak mengakui Maklumat
Presiden tersebut dan kemudian melakukan memorandum yang dipercepat dengan
agenda mencabut mandat terhadap Presiden Gus Dur. Sehingga Sidang Istimewa
digelar dengan agenda memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid dari jabatannya
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dari rangkaian peristiwa
tersebut, MPR RI memutuskan untuk memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid
karena dinyatakan sungguh-sungguh melanggar haluan negara yaitu karena ketidakhadiran
dan penolakan untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR RI
tahun 2001 dan penerbitan Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001. Hal yang
mengejutkan dilakukan MPR RI dalam diktum putusan pemberhentian Presiden
Abdurrahman Wahid ini, yaitu alasan yang ditulis bukan didasarkan pada
memorandum DPR RI, melainkan alasan lain yakni ketidakhadiran dan penolakan
Presiden untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR serta
dikeluarkannya Maklumat Presiden Gus Dur. Meskipun demikian, dari pertimbangan
dalam Ketetapan MPR RI No. II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI
K. H. Abdurrahman Wahid tetap dicantumkan pula adanya pelanggaran haluan negara
sebagaimana yang tertuang dalam memorandum DPR RI.
Akhirnya Hasil Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) tahun 2001 dikeluarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang
Pemberhentian Jabatan Presiden Abdurrahman Wahid. Dalam TAP MPR tersebut
termuat materi pencabutan kekuasaan negara dari tangan Presiden Abdurrahman
Wahid yang digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang menjabat Wakil Presiden
saat itu. Kemudian jabatan Wakil Presiden digantikan oleh Hamzah Haz
berdasarkan ketetapan tersebut. Dengan demikian, pemberhentian Presiden dan
mekanisme serta proses pemberhentiannya dapat disimpulkan unsur utama yang
dijadikan alasan impeachment Presiden adalah adanya pelanggaran haluan
negara yang dilakukan oleh Presiden, apakah itu melanggar konstitusi,
pelanggaran terhadap TAP MPR maupun pelanggaran UU serta peraturan-peraturan
lainnya. (Hamdan Zoelva, 2005:104)
Paparan tentang peristiwa pemberhentian Presiden
Republik Indonesia sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia tercatat bahwa
apa yang terjadi pada pengalaman impeachment terhadap Presiden Soekarno
dan Presiden Abdurrahman Wahid di atas menunjukkan bahwa tidak adanya ketentuan
yang jelas mengenai alasan hukum (legal reasoning) dan mekanisme impeachment
menimbulkan akibat yang bermakna pelaksanaan impeachment cenderung
ditentukan oleh penafsiran subjektif. Impeachment terhadap Presiden
Soekarno tidak didasarkan pada ketentuan yang jelas untuk melakukan impeachment
tersebut, tetapi hanya berdasarkan bahwa MPRS sebagai lembaga tertinggi
negara pemegang kedaulatan negara memiliki wewenang mengangkat dan memberhentikan
Presiden dan MPRS dapat setiap saat memberhentikan Presiden manakala Presiden
dinilai telah melakukan penyimpangan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden. Pengalaman impeachment terhadap presiden Abdurrahman Wahid
memang telah dilandasi aturan yang sedikit lebih formal dan maju dibandingkan
dengan proses impeachment terhadap Presiden Soekarno. Lebih formal
disini ialah digunakannya dasar hukum dalam mendakwa Presiden Abdurrahman Wahid
yaitu dengan TAP MPR No. VII/MPRS/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil
Presiden Republik Indonesia Berhalangan dan TAP MPR No. III/MPR/1978 tentang
Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar
Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
2.
Prosedur
Mekanisme Impeachment Presiden dan Wakil Presiden Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945 Pasca Amandemen.
Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 pasca amandemen, mekanisme pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden
harus bermula dari proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kemudian
proses hukum di Mahkamah Konstitusi, dan proses politik penentu di tingkat
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam pemberhentian Presiden dan Wakil
Presiden menurut UUD 1945 pasca amandemen ini, proses politik dan proses hukum
berjalan sekaligus dengan alur yang telah ditentukan konstitusi. Permulaan
proses impeachment dimulai dengan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sesuai yang diatur dalam UUD
1945 pasca amandemen Pasal 7A. DPR kemudian meminta kepada Mahkamah Konstitusi
(MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR, bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah bersalah karena melakukan pelanggaran hukum dan
ini merupakan kewajiban MK untuk memberikan kepastian hukum (rechtsmatigheid)
sesuai Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 amandemen dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945
amandemen serta Pasal 10 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Sesuai dengan ketentuan pasal 7B ayat (4) UUD 1945
amandemen maka MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR tersebut.
Kedudukan DPR dalam persidangan MK adalah sebagai pihak pemohon karena DPR-lah
yang memiliki inisiatif dan berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945 amandemen.
Setelah MK memberi putusan atas pendapat DPR dan isi putusan MK adalah
membenarkan pendapat DPR tersebut maka tahapan ketiga proses impeachment
berada di MPR. UUD 1945 memberikan batasan bahwa hanya bilamana MK
membenarkan pendapat DPR tersebut maka DPR dapat meneruskan proses impeachment
atau usulan pemberhentian ini kepada MPR. Keputusan DPR untuk melanjutkan
proses impeachment dari MK ke MPR juga harus melalui keputusan yang
diambil dalam sidang paripurna DPR.
Kemudian yang menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment
di MK adalah bahwa MK memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan
impeachment yang ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Ketika proses impeachment berlangsung di MK, namun MK berarti tidak
sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena
yang menjadi objek dalam proses impeachment di MK adalah pendapat DPR.
Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna adalah lebih bernuansa
politis. Oleh sebab itu proses impeachment di MK adalah untuk melihat
tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu
pemegang kekuasaan kehakiman dalam fungsinya sebagai judicial power maka
putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi
secara hukum. Karena DPR adalah satu-satunya pihak yang memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk beracara di MK dalam rangka tuduhan impeachment
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Disebutkan secara eksplisit dalam
pasal 80 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa
”Pemohon adalah DPR”. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah siapakah
yang akan mewakili DPR dalam persidangan di MK atau dapatkah DPR menunjuk kuasa
hukum untuk mewakili kepentingannya di persidangan MK. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut perlu untuk dilihat ketentuannya dalam hal penunjukkan
kuasa hukum yaitu Pasal 43 dan 44, UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi secara umum mengatur bahwa setiap pemohon dan/atau termohon yang
beracara di MK dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya. Berarti DPR
sebagai pemohon dalam perkara tuduhan impeachment di MK juga dapat
menunjuk kuasa untuk mendampingi atau mewakilinya dalam beracara di MK. Namun
jika dengan pertimbangan untuk memberikan keterangan selengkap-lengkapnya
kepada Majelis Hakim Konstitusi tentu lebih baik bilamana DPR menunjuk
anggota-anggotanya yang terlibat secara intens dalam rapat-rapat di DPR ketika
penyusunan tuduhan impeachment. Misalnya anggota-anggota yang
mengusulkan hak menyatakan pendapat maupun anggota Panitia Khusus yang dibentuk
untuk melakukan pembahasan tuduhan impeachment di DPR. Pertanyaan
selanjutnya yang muncul ialah bagaimana dengan kedudukan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam proses impeachment di MK. Dari seluruh ketentuan
hukum acara pelaksanaan kewenangan dan kewajiban MK yang diatur dalam UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa hanya ada satu ketentuan hukum
acara pelaksanaan kewenangan MK yang secara eksplisit menyebutkan adanya
termohon yaitu kewenangan MK memutus sengketa antar lembaga negara. Hal ini
berarti bahwa selain kewenangan memutus sengketa lembaga negara, seluruh
pelaksanaan hukum acara kewenangan dan kewajiban MK bersifat adversarial.
Kehadiran atau pemanggilan pihak-pihak selain pemohon dalam persidangan
bukanlah untuk saling berhadapan dengan pemohon namun untuk dimintai keterangan
bagi Majelis Hakim Konstitusi melakukan pemeriksaan silang (cross check)
ataupun memperkaya data-data yang dibutuhkan.
Dengan demikian, dalam proses impeachment di MK
kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK bukanlah
sebagai termohon. Dan kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
persidangan MK adalah hak, bukan kewajiban. Hak Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang mengalami tuduhan impeachment untuk memberikan keterangan
dalam persidangan MK menurut versinya bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden
menganggap bahwa pendapat maupun keterangan yang diberikan oleh DPR dalam
persidangan MK tidak benar. Dalam hal penunjukan kuasa hukum dalam persidangan
MK maka Presiden dan/atau Wakil Presiden juga memiliki hak untuk didampingi
atau diwakili oleh kuasa hukum. Namun untuk mencegah adanya distorsi akan lebih
baik bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden hadir dalam persidangan MK
sebagaimana Presiden dan/atau Wakil Presiden diwajibkan hadir untuk memberikan
keterangan dalam rapat pembahasan Panitia Khusus yang dibentuk oleh DPR
sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR. (Jimly Asshiddiqie, 2005:
73-75)
Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum merupakan pelaksanaan dari fungsi
pengawasan DPR yang termaktub dalam Pasal 7B ayat (2) UUD NRI 1945. Dalam hal
sebagai fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan
yang dilakukan oleh seorang Presiden dengan dibantu oleh seorang Wakil presiden
beserta para menteri kabinetnya. Maka apabila dalam perjalanannya dianggap dan
diduga oleh sebagian anggota DPR bahwa pelaksanaan dan penyelenggaraan negara
yang dipimpin oleh Presiden melakukan perbuatan melawan hukum. Proses dugaan
DPR yang diajukan oleh sebagian anggota DPR harus dimintakan keabsahannya
kepada Mahkamah Konstitusi yang didukung sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota DPR. Namun jika pengajuan oleh sebagian anggota DPR atas dugaannya
terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden masih belum mencapai quorum maka
belum dapat diajukan kepada Mahkamah Konstitusi.
E.
Penutup
Di Indonesia, lembaga negara yang mengakomodasi impeachment
menurut UUD NRI 1945 amandemen adalah DPR, MK, dan MPR. Perbedaan
selanjutnya terletak pada keseimbangan wewenang lembaga negara legislatif dalam
mengakomodasi proses impeachment.
Kedudukan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia menjadi alasan
yang kuat untuk diberikan wewenang yang seimbang dengan DPR dalam mekanisme impeachment.
Sejak amandemen UUD 1945, tugas pokok dan fungsi DPD dalam konstitusi memang
sangat terbatas jika dibandingkan dengan DPR yang secara struktur
ketatanegaraan sejajar kedudukannya. DPR dapat menyatakan pendapat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan karena telah memenuhi
rumusan Pasal 7A UUD 1945 amandemen. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa DPR
berfungsi dalam hal penuntutan sebagai pihak yang menuntut (prosecutor) impeachment.
DPD memiliki peran dalam hal menyetujui untuk diselenggarakannya sidang
istimewa MPR dan memberikan suara terhadap penentuan berhenti atau tidaknya
presiden dan/atau wakil presiden setelah proses impeachment dilakukan di
DPR dan MK. Karena jika tanpa DPD, maka MPR tidak bisa terbentuk apalagi untuk
menyelenggarakan sidang istimewa. Karena itulah DPD seharusnya diberikan
wewenang yang strategis pula ketika dalam proses impeachment. Artinya
bahwa DPD tidak harus menyetujui diadakannya Sidang MPR untuk penentuan putusan
impeachment. Selanjutnya untuk idealisasi konsep impeachment ditentukan
pula kedudukan hukum putusan MPR sebagai kata akhir proses impeachment.
Memang MPR saat ini memiliki Tata Tertib MPR dan Keputusan sebagai produk
hukumnya, namun itu hanya bersifat protokoler untuk mengatur sistem kerja di
lingkungan MPR saja. Sebelum amandemen UUD 1945, ditentukan bahwa putusan MPR
memiliki bentuk yuridis yang berkekuatan eksekutorial yaitu Ketetapan MPR atau
TAP MPR. Namun setelah amandemen UUD 1945, TAP MPR dicabut sebagai peraturan
perundang-undangan sehingga Ketetapan MPR tidak lagi termasuk dalam hierarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dan Undang-Undang di bawahnya pun
juga tidak ada yang mengatur mengenai kedudukan hukum putusan MPR penentu impeachment.
Maka dari itulah, perlu adanya peraturan hukum yang jelas mengenai peran DPD
dan bentuk hukum putusan MPR sebagai idealisasi konsep impeachment di
negara demokratis.
Daftar Pustaka
Hamdan Zoelva.
2005. Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden
Menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press.
Soimin. 2009. Impeachment Presiden dan Wakil
Presiden di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Munir Fuady. 2009. Teori Negara Hukum Modern
(Rechsstaat). Bandung: Refika Aditama.
Firmansyah
Arifin, dkk . 2005. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga.
Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional.
Dahlan Thaib. 1989. Implementasi Sistem
Ketatanegaraan Menurut UUD 1945. Yogyakarta: Liberty.
Miriam Budiharjo. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia.
Bagir Manan. 2003. Lembaga Kepresidenan.Yogyakarta:
FH UII Press.
Moh. Kusnardi
dan Bintan Siragih. 2000. Ilmu Negara, Edisi Revisi. Jakarta: Gaya Media
Pratama
Jimly
Asshiddiqie. 2005. Laporan Penelitian. Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dengan Konrad Adenauer Siftung.
Ni’matul
Huda. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.