Maladministrasi dan Peran Pengawasan
Dalam Pelayanan Publik
Eric S. Holle, SH.,MH
1. Pendahuluan
Dalam kajian
hukum administrasi, pelayanan publik dan pemerintah (termasuk badan pemerintah
lain) merupakan dua aspek yang saling terkait. Pemerintah dalam karakter
aktifnya dituntut untuk menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan (pelayanan
publik) yang semakin beragam dan rumit, sesuai dengan wewenang yang dimiliki.
Hal tersebut merupakan keharusan,oleh karena hakekat hukum administrasi adalah
hukum yang berkaitan dengan wewenang pemerintah, melindungi individu atau
masyarakat. Di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
dalam bagian menimbang butir b :
Bahwa membangun kepercayaan
masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik
merupakan kegiatan yang harusdilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan
seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik.
Gerakan reformasi mengamanatkan
perubahan kehidupan ketatanegaraan yang didasarkan pada pemerintahan yang
demokratis dan berlandaskan hukum (rule of law). Sebelum reformasi,
praktik pemerintahan cenderung diwarnai praktek-praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN). Kondisi tersebut membuat masyarakat tidak percaya pada aparat
pemerintah, sehingga untuk memperbaki citra pemerintahan, mutlak diperlukan
pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) melalui upaya
penegakan asas-asas pemerintahan yang baik dan penegakan hukum.
Dalam kaitan tersebut, reformasi birokrasi
pemerintahan muncul pertama kali karena adanya keinginan pemerintah untuk
memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat seperti yang ditentukan oleh UUD
1945. Peningkatan pelayanan publik harus mendapatkan perhatian utama dari
pemerintah, karena pelayan publik (public
service) merupakan hak-hak sosial dasar dari masyarakat (social rights).
2. Konsep
dan Landasan Yuridis Pelayanan Publik
2.1. Konsep Pelayanan Publik
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik, ditegaskan dalam Pasal 1 butir 1 :
Yang dimaksud pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,
jasa dan/atau pelayanan adminstratif yang diselenggarakan oleh penyelenggara
pelayanan publik.
Dari ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor. 25
tahun 2009 tersebut dengan tegas disebutkan tentang pelayanan publik dilakukan
atas barang, jasa dan/atau pelayanan adminstratif
2. Pengawasan
Sebelum Reformasi
Sebelum reformasi, sistem pengawasan diatur dalam
Instruksi Presiden (Inpres) nomor 15 tahun 1983. Namun, peraturan hukum tersebut tidak memberikan keterangan yang tegas dan
jelas mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian pengawasan itu sendiri.
Menurut
George R. Terry, pengawasan adalah `Control is to determine what is
accomplished evaluate it, and apply corrective measures, if needed to insure
result in keeping with the plan.` Sedangkan Newman berpendapat bahwa `Control
is assurance that the performance conform to plan.` Kemudian, Siagian
memberikan definisi tentang pengawasan bahwa proses
pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organsasi untuk menjamin agar
semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.[1]
Dari pengertian diatas terlihat
bahwa pengawasan dititikberatkan pada dua hal, yakni pada proses
pelaksanaan kegiatan dan pada tahap evaluasi serta koreksi terhadap pelaksanaan
kegiatan. Kedua aspek pengawasan tersebut dilakukan untuk menjamin agar
pelaksanaan suatu tugas berjalan sesuai dengan tujuan dan hasil yang telah direncanakan.
Pengawasan, juga membutuhkan beberapa unsur, yakni :
a.
Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat pengawas
b.
Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap proses kegiatan yang sedang
berlangsung atau yang telah dilaksanakan
Ada tiga jenis mekanisme pengawasan yang dikenal umum. Pertama adalah
pengawasan melekat. Bentuk pengawasan ini merupakan suatu mekanisme pengawasan
yang mengombinasikan sistem manajemen dan sistem pengawasan atasan langsung. Di
dalam pengawasan ini, diharapkan kekurangan-kekurangan dalam suatu instansi
pemerintahan dapat diselesaikan dengan cepat, murah dan efisien. Akan tetapi,
fakta di lapangan menunjukkan penggunaan pengawasan melekat sulit dilakukan
dalam lingkungan mental-mental aparatur negara yang dinilai koruptif.
Penitikberatan pada atasan inilah yang menjadi kendala besar untuk
melaksanakan pengawasan melekat dalam suatu lembaga pemerintahan. Padahal tujuan
dari adanya pengawasan melekat adalah untuk menciptakan penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang bersih, transparan,
profesional dan memiliki budaya kerja yang baik. Bagaimana dapat
menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, transparan, profesional kalau
orang-orang di dalamnya pun masih bermental money oriented, menghalalkan
segala cara dan bertendensi melakukan praktek-praktek korup. Mereka lupa bahwa
menjadi aparat pemerintah bahkan menjadi pejabat adalah menjadi pelayan publik.
Bentuk pengawasan lainnya dalam melakukan mekanisme pengawasan terhadap
setiap tindakan pemerintah adalah pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional
yang mana merupakan bentuk mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh suatu
lembaga independen yang memang sengaja dibentuk untuk mengawasi lembaga
tertentu menjadi pilihan awal daripada pengawasan melekat. Berdasarkan Inpres
No. 15 tahun 1983, subyek yang melaksanakan fungsi pengawasan fungsional
adalah:
1. Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
2. Inspektorat
Jenderal Departemen, aparat pengawasan lembaga non departemen/instansi
pemerintah lainnya
3. Inspektorat
wilayah provinsi
Lembaga Pengawas Struktural, seperti Inspektorat Jenderal, selama ini tidak
bisa mandiri karena secara organisatoris merupakan bagian dari
kelembagaan/departemen terkait. Lagi pula pengawasan yang dilakukan bersifat
intern artinya kewenangan yang dimiliki dalam melakukan pengawasan hanya
mencakup urusan institusi itu sendiri. Kemudian, Lembaga Pengawas Fungsional,
seperti Badan Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan, meskipun tidak bersifat
intern namun substansi/sasaran pengawasan terbatas pada aspek tertentu terutama
masalah keuangan. Lagi pula aparat pengawas fungsional pada umumnya tidak
menangani keluhan-keluhan yang bersifat individual, mereka melakukan pengawasan
terhadap pengelolaan keuangan secara rutin baik yang merupakan anggaran rutin
maupun pembangunan.
Kondisi ini membuat lembaga pengawasan struktural maupun fungsional tidak
berjalan dengan baik. Bahkan, ada kecenderungan
lembaga-lembaga tersebut malah larut dalam prilaku koruptif birokrasi sehingga,
pengawasan tidak pernah dijalankan secara serius dan keluhan-keluhan baik yang
berasal dari internal birokrasi maupun dari eksternal (masyarakat) tidak dapat
ditindaklanjuti secara serius.
3. Munculnya
Lembaga Pengawas Eksternal
Ketatanegaraan Indonesia menampilkan wajah baru setelah perubahan UUD 1945, yang secara berantai dilakukan MPR selama 4 tahun, sejak 1999 hingga 2002.
Reformasi konstitusi di era transisi itu, relatif mampu meletakkan sistem
ketatanegaraan anyar yang lebih baik. Tentu di sana-sini ada kekurangan hasil
perumusan, namun dibandingkan dengan konstitusi sebelum amandemen, UUD 1945
hasil amandemen adalah konstitusi yang lebih demokratis.[4]
Salah satu kecenderungan wajah ketatanegaraan Indonesia
transisi, serta setelah perubahan UUD 1945 adalah lahirnya lembaga-lembaga
`eksternal` yang memiliki kewenangan untuk mengawasi institusi negara
(pemerintah). “komisi negara independen” (independent regulatory agencies)
maupun lembaga negara non struktural lainnya, seperti komisi eksekutif (executive
branch agencies). Bak jamur di musim hujan, semua bidang kenegaraan
berlomba menghadirkan komisi negara. Nyatalah bahwa Indonesia tidak imun dari
kecenderungan global, yaitu mendirikan lembaga baru di masa transisi pasca
pemerintahan otoriter. Salah satu penyebab utamanya adalah lunturnya
kepercayaan publik atas lembaga negara konvensional. Ketidakpercayaan publik (public
distrust) itu mendorong hadirnya komisi negara yang diidamkan memberikan
kinerja baru yang lebih terpercaya.[5]
Jeremy Pope dalam buku berjudul Pengembangan Sistem
Integritas Nasional secara sederhana menguraikan bahwa pada saat warga
negara melihat ada sesuatu yang salah, ketidakpuasan bermunculan, dan keluhan
terhadap lembaga birokrasi pemerintahan tidak ditanggapi, padahal pada
saat yang sama sistem penegakan hukum yang menjadi tumpuan akhir memperoleh
keadilan sangat lamban, mahal, bersifat publik, dan jauh dari kemudahan (not-user
friendly), maka saat itulah Ombudsman mulai banyak dilirik orang.[6]
Kondisi negara yang secara ilustratif diuraikan Jeremy
Pope tersebut sangat relevan untuk menggambarkan keadaan negara Indonesia pasca
reformasi dimana birokrasi masih dinilai sebagai institusi yang korup, tidak
efektif dan tidak responsif terhadap kebutuhan publik. Kondisi inilah yang
menyebabkan masyarakat tidak percaya pada birokrasi pemerintahan. Sikap tidak
puas bahkan mengarah pada sikap tidak percaya pada birokrasi merupakan sikap
yang membahayakan bagi keberlangsungan pembangunan. Karena bagaimanapun,
birokrasi merupakan tulang punggung jalannya roda pemerintahan. Baik buruknya
pemerintahan tergantung pada kualitas birokrasinya. Sehingga, adalah suatu
keharusan untuk merebut kepercayaan publik terhadap birokrasi. Kepercayaan ini
penting agar kedepannya, masyarakat dapat bekerjasama dengan aparat birokrasi
sehingga bermanfaat bagi proses jalannya program pemerintahan.
4. Lembaga
Ombudsman
Untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap
birokrasi, salah satu langkah penting yang ditempuh pemerintah pasca reformasi
adalah dengan memperkuat pengawasan terhadap birokrasi dengan membentuk lembaga
pengawas eksternal, yakni lembaga ombudsman. Lembaga ini dibentuk pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berdasarkan Keputusan Presiden nomor 44
tahun 2000. Kemudian, dasar hukum ombudsman diperkuat dalam bentuk
Undang-undang (UU), yakni UU nomor 37 tahun 2008.
Secara internasional, tidak kurang 65 negara kini
memiliki lembaga Ombudsman yang keberadaannya bahkan diatur dalam konstitusi.
Ombudsman di negara-negara yang sudah lama memilikinya seperti Finlandia,
Swedia, dan Norwegia, dinamai "Parliamentary Ombudsman". Ini terkait
dengan para anggotanya dipilih dan diangkat oleh parlemen, sehingga kedudukan
mereka sangat kuat. Ombudsman Finlandia dan Polandia diberikan kewenangan untuk
mengawasi lembaga peradilan sekaligus menghukum hakim-hakim yang terbukti
korup. Kemudian, hampir semua negara eks Komunis di Eropa Timur, termasuk
Rusia, kini memiliki sistem Ombudsman; apalagi negara-negara maju seperti
Amerika, Inggris, Belanda, Australia dan Selandia Baru. Negara-negara Afrika
yang tergolong sebagai negara berkembang seperti Zambia, Ghana, Uganda, Pantai
Gading, Burkina Faso dan Kamerun, juga mempunyai Ombudsman.[7] Sehingga, pilihan Indonesia untuk membentuk lembaga
Ombudsman tidak terlepas dari trend internasional yang memilih strategi model
Ombudsman untuk memperbaiki kualitas pemerintahannya, terutama di negara-negara
yang sedang berada dalam proses transisi dari rezim otoriter ke rezim demokrasi.
Pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia didasarkan
pada beberapa pertimbangan, yakni, pertama, bahwa pelayanan kepada masyarakat
dan penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara dan
pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk
menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan
kesejahteraan serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga
negara.
Kedua, bahwa pengawasan pelayanan yang diselenggarakan
oleh penyelenggara negara dan pemerintahan merupakan unsur penting dalam upaya
menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien serta sekaligus
merupakan implementasi prinsip demokrasi yang perlu ditumbuhkembangkan dan
diaplikasikan guna mencegah dan menghapuskan penyalahgunaan wewenang oleh
aparatur penyelenggara negara
dan pemerintahan. Terakhir, pembentukan Ombudsman sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat agar turut terlibat
aktif untuk melakukan pengawasan terhadap aparat pemerintah sehingga akan lebih
menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi,
kolusi dan nepotisme. Pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat ini merupakan
implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar
penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur negara dapat
diminimalisasi.
Dalam UU Ombudsman ditegaskan bahwa Ombudsman adalah
lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan
publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan
termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang
diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Sasaran utama kerja Ombudsman adalah praktek
maladministrasi, yakni perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui
wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan
pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi
masyarakat dan orang perseorangan.
Terdapat beberapa tujuan pembentukan Ombudsman :
a. Mewujudkan
negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera;
b. Mendorong
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur,
terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme;
c. Meningkatkan
mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk
memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik;
d. Membantu
menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan
praktek-praktek Maladministrasi,
diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme;
e. Meningkatkan
budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang
berintikan kebenaran serta keadilan.
Selanjutnya, dinyatakan dalam pasal 2 UU Ombudsman bahwa
Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki
hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan
lainnya. Kemandirian dan independensi Ombudsman dimaksudkan agar dalam melaksanakan tugasnya Ombudsman dapat bersikap obyektif, transparan, dan
mempunyai akuntabilitas kepada publik.
5. Fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman
Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di
pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan
swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik
tertentu.[8]
Terkait dengan tugas, Ombudsman mempunyai tugas sebagai
berikut :
a. Menerima
Laporan atas dugaan Maladministrasi
dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
b. Melakukan
pemeriksaan substansi atas Laporan;
c. Menindaklanjuti
Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
d. Melakukan
investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik;
e. Melakukan
koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan
lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
f. Membangun jaringan kerja;
g. Melakukan
upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
h. Melakukan
tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.[9]
Dalam menjalankan fungsi dan tugas, Ombudsman berwenang:
a. Meminta
keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak
lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b. Memeriksa
keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun
Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;
c. Meminta
klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari
instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor;
d. Melakukan
pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan
Laporan;
e.
Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para
pihak;
f. Membuat
Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar
ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
Selain itu, Ombudsman berwenang:
a. Menyampaikan
saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara
lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan
publik;
b. Menyampaikan
saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah
Maladministrasi.
Melihat fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman tersebut,
jelaslah bahwa pembentukan Ombudsman terutama untuk membantu upaya pemerintah
dalam mengawasi jalannya proses pemerintahan. Dengan tujuan untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik yang menerapkan prinsip-prinsip good governance,
bersih dari KKN dan meningkatkan pelayanan umum (public service).
Terlihat juga bahwa Ombudsman
dibentuk untuk memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pengawasan
pemerintah. Aspek partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dapat lebih terjamin
melalui mekanisme Ombudsman.
Sehingga, partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari
KKN sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 28 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, dapat
dilaksanakan secara optimal.
Anggota Ombudsman terdiri dari 9 komisioner. Ketua, Wakil
Ketua, dan anggota Ombudsman dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan
calon yang diusulkan oleh Presiden.[11]
Tugas mulai untuk mengawasi aparat pemerintah, mengharuskan komisioner
Ombudsman haruslah orang yang cakap, jujur, memiliki integritas moral yang
tinggi, dan memiliki reputasi yang baik. Komisioner juga tidak boleh menjadi
pengurus partai politik untuk menjaga kemandirian lembaga.
6. Ombudsman dan Antikorupsi
Salah satu tujuan pembentukan Ombudsman dalam UU adalah
untuk memberantas dan mencegah korupsi dikalangan aparat pemerintah.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa melenyapkan korupsi sampai ke akar-akarnya
tidak cukup hanya dengan tindakan represif dengan memberikan hukuman kepada
pelaku korupsi. Pemberantasan korupsi harus dimaknai sebagai bentuk tindakan
yang komprehenshif, meliputi pencegahan, penindakan, dan perbaikan.
Ombudsman merupakan salah satu kelembagaan antikorupsi
yang direkomendasikan ketetapan (TAP) MPR Nomor VIII tahun 2001 tentang
Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Lembaga
antikorupsi lain, yang juga direkomendasikan dibentuk perundangundangannya
meliputi Komisi Antikorupsi, Pencucian Uang, Perlindungan Saksi, Kebebasan
Memperoleh Informasi dan sebagainya.
Disamping peran dan kewenangan sebagai pengawas
penyelenggaraan pemerintahan, Ombudsman juga berperan dalam proses
pemberantasan dan pencegahan Korupsi. Bahkan, sebagaimana ditunjukkan oleh TAP
MPR, sesunggguhnya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersama-sama
dengan Komisi Ombudsman Nasional dilihat sebagai dua lembaga yang sama-sama
berperan dalam Pemberantasan dan Pencegahan KKN, tetapi masing-masing diberi
tugas dan kewenangan untuk memberantas dan mencegah KKN dari sudut dan melalui
jalur yang berbeda. Bila Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertugas
dan berperan memberantas KKN yang merupakan tindak pidana, dan karena itu
bertindak sebagai Pengawas Kejaksaan dalam hal pemeriksaan dan penuntutan perkara
pidana korupsi, yang bahkan dapat menggantikan/mengambil alih peran Kejaksaan
itu, maka Komisi Ombudsman Nasional memberantas dan mencegah aspek-aspek KKN
dari jalur yang lain, yaitu melalui jalur administrasi dan Penyelenggara
Negara, serta melalui pengembangan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Benar (Good
Governance).[12]
Kwik Kian Gie pernah berpendapat bahwa untuk
memberantas korupsi
harus dimulai dari membersihkan manusia agar bebas korupsi atau setidaknya
takut melakukan korupsi. Ia kemudian menawarkan konsep pemberantasan korupsi
dengan menggunakan metode pemberian carrot and stick. Menurut Kwik Kian
Gie, memberi kesejahteraan dan mempertegas hukuman (carrot and stick)
bagi penyelenggara negara/pemerintah seharusnya menjadi starting point yang
sangat penting dalam pemberantasan korupsi. Tentu saja dengan tidak mengabaikan
perbaikan perangkat hukum, kelembagaan, sistem prosedur pengambilan keputusan
dan transparansi.
Pada tahap inilah, peran Ombudsman sangat dibutuhkan.
Sebab selain “menghukum” para pelaku korupsi, tidak kalah penting adalah
mengawasi proses pemberian hukuman tersebut apakah sudah sesuai prosedur atau
sarat dengan berbagai penyimpangan. Sehingga dalam hal ini, Ombudsman lebih
berperan untuk melakukan pencegahan secara dini agar dalam setiap aspek
pemberantasan korupsi tidak terjadi penyimpangan atau maladministrasi. Oleh karena
itu, sebagai lembaga yang menitikberatkan pada pengawasan proses pemberian
pelayanan umum, dalam konteks pemberantasan korupsi, Ombudsman lebih berperan
guna mencegah terjadinya perilaku koruptif setiap aparatur penyelenggara
negara/pemerintah. Peran ini dilaksanakan atas dasar pemikiran bahwa
pemberantasan korupsi harus dimulai dengan memperbaiki sistem pelayanan umum.
Pendapat ini dibangun dengan asumsi bahwa sistem pelayanan umum (termasuk
proses penegakan hukum) menjadi tidak berjalan secara baik karena didalamnya
sarat dengan praktek-praktek penyelenggaraan negara yang koruptif. Sehingga
apabila proses pemberian pelayanan umum diawasi sedemikian rupa, maka
setidaknya dapat mencegah adanya peluang bagi penyelenggara negara melakukan
tindakan-tindakan yang koruptif.[13]
Berbeda dengan tindakan hukum (repressive) bagi
Koruptor, maka pencegahan (prevention)
terhadap terjadinya praktek-praktek koruptif dapat dirasakan manfaatnya secara
langsung oleh banyak orang. Apabila kita bisa mencegah praktek-praktek koruptif
dalam proses pemberian pelayanan umum seperti misalkan permintaan uang dalam
pembuatan KTP, SIM, IMB dan perijinan lainnya, tentu lebih banyak orang yang
merasakan dampaknya. Dengan demikian ratusan ribu bahkan jutaan orang di
Indonesia dapat memperoleh pelayanan prima tanpa dibebani biaya-biaya tidak
resmi yang memberatkan. Oleh karena itu, memasukkan upaya pencegahan korupsi
sebagai bagian penting dalam strategi pemberantasan korupsi akan semakin
melengkapi dan memperkuat gerakan antikorupsi di Indonesia. Hal ini akan
semakin memperjelas peran Ombudsman dalam gerakan antikorupsi di Indonesia.
Apabila pemberantasan korupsi dimaknai sebagai bentuk tindakan yang
komprehenshif, meliputi pencegahan (preventif), penindakan (represif), dan
perbaikan (kuratif), permasalahannya adalah bagaimana mensinergikan peran
masing-masing lembaga yang menjadi stakeholder gerakan antikorupsi
sehingga menjadi kekuatan yang utuh dari hulu (pencegahan) sampai hilir
(perbaikan).[14]
7. Ombudsman di Daerah
Untuk konteks Indonesia, dengan luas wilayah kepulauan
dan jumlah penduduk yang sangat besar, barangkali tidak mungkin semua masalah
maladministrasi publik bisa ditangani oleh Ombudsman nasional secara cepat dan murah. Dalam konteks otonomi daerah,
dimana hampir seluruh kewenangan public administration dilimpahkan
ke daerah, maka harus dimungkinkan dibentuk Ombudsman daerah yang independen. Pelaksanaan desentralisasi kekuasaan yang
tidak diikuti dengan pembangunan sistem akuntabilitas dan pengawasan eksternal
yang kuat cenderung akan mengakibatkan terjadinya desentralisasi korupsi.[15]
Sebagai lembaga yang menitikberatkan pada pengawasan
proses pemberian pelayanan umum, dalam konteks pemberantasan korupsi di daerah,
Ombudsman daerah
berperan di baris paling depan guna mencegah terjadinya korupsi dan perilaku
koruptif setiap aparatur penyelenggara pemerintahan daerah. Peran Ombudsman daerah dalam proses pencegahan korupsi dimulai
dengan mendorong upaya perbaikan sistem pelayanan umum pemerintahan daerah
dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik.
8. Penutup
Secara universal diakui bahwa pada hakikatnya Ombudsman
mengemban misi untuk melakukan pengawasan terhadap aparat pemerintah.
Rekomendasi Ombudsman meskipun tidak mengikat (not legally binding)
namun secara moral diikuti (morally binding). Ombudsman tidak memberi
sanksi hukum sebagaimana Lembaga Peradilan akan tetapi memberi pengaruh kepada
aparatur negara. Dengan memperkuat pengawasan, diharapkan pemberian pelayanan
kepada masyarakat akan lebih meningkat kualitasnya. Memperoleh pelayanan secara
baik dari Penyelengara Negara merupakan sebuah permasalahan penting saat ini
yang harus kita atasi. Institusi Ombudsman ingin mengembalikan paradigma bahwa
sesungguhnya lembaga pengawasan memiliki peran strategis untuk mewujudkan
birokrasi pemerintahan yang baik.
Terkait pemberantasan korupsi, pendekatan yang dilakukan Ombudsman berbeda dengan fungsi lembaga represif
antikorupsi seperti KPK, kejaksaan atau kepolisian. Fungsi Ombudsman lebih tertuju pada perbaikan administrasi guna
memastikan bahwa sistem-sistem tersebut membatasi korupsi sampai tingkat
minimum, yakni penyelenggaraan administrasi yang transparan, efisien dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik.
9. Daftar Pustaka
9.1. Daftar buku :
Hadjon,
Philipus M, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Muchsan, 2000,
Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha
Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Sujata,
Antonius, 2005, Peranan Ombudsman Dalam Rangka Pemberantasan dan Pencegahan
Korupsi Serta Penyelenggaraan Pemerinthan Yang Bersih, Komisi Ombudsman
Nasional, Jakarta
Sujata,
Antonius,2002, Ombudsman Indonesia, Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang.
Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta
9.2. Daftar peraturan perundang-undangan:
Instrruksi Presiden Nomor 15 tahun 1983 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengawasan
Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 2000 tentang Komisi
Ombudsman Nasional
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-undang
Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan pemerintahan Yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia
9.3. Makalah dan Internet :
Hartono, C.F.G.
Sunaryati, 2005, Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Secara Sistemik.
Indrayana,
Denny, 2007, Komisi Negara, Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan.
Lesmana, Tjipta, 2004, Ombudsman Indonesia Mau Dimatikan,
Sinar Harapan.
Masduki, Teten, Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya.
Sujata,
Antonius, Ombudsman dan Gerakan Antikorupsi.www.ombudsman.go.id
[1] Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap
Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, 2000. hal. 36.
[6] Antonius Sujata, Ombudsman dan
Gerakan Antikorupsi, www.ombudsman.go.id, diakses tanggal 24 Februari 2010.
[12] C.F.G. Sunaryati Hartono, Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi Secara Sistemik, dalam Peranan Ombudsman Dalam Pemberantasan
dan Pencegahan Korupsi serta Pelaksanaan Pemerintahan Yang Baik, Komisi
Ombudsman Nasional, Jakarta, 2005. hal. 134.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar