Jumat, 09 Oktober 2015

Maladministrasi dan Peran Pengawasan Dalam Pelayanan Publik

Maladministrasi dan Peran Pengawasan
Dalam Pelayanan Publik

Eric S. Holle, SH.,MH


1. Pendahuluan
Dalam kajian hukum administrasi, pelayanan publik dan pemerintah (termasuk badan pemerintah lain) merupakan dua aspek yang saling terkait. Pemerintah dalam karakter aktifnya dituntut untuk menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan (pelayanan publik) yang semakin beragam dan rumit, sesuai dengan wewenang yang dimiliki. Hal tersebut merupakan keharusan,oleh karena hakekat hukum administrasi adalah hukum yang berkaitan dengan wewenang pemerintah, melindungi individu atau masyarakat. Di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dalam bagian menimbang butir b :
Bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harusdilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik.
Gerakan reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan ketatanegaraan yang didasarkan pada pemerintahan yang demokratis dan berlandaskan hukum (rule of law). Sebelum reformasi, praktik pemerintahan cenderung diwarnai praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kondisi tersebut membuat masyarakat tidak percaya pada aparat pemerintah, sehingga untuk memperbaki citra pemerintahan, mutlak diperlukan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) melalui upaya penegakan asas-asas pemerintahan yang baik dan penegakan hukum.
Dalam kaitan tersebut, reformasi birokrasi pemerintahan muncul pertama kali karena adanya keinginan pemerintah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat seperti yang ditentukan oleh UUD 1945. Peningkatan pelayanan publik harus mendapatkan perhatian utama dari pemerintah, karena pelayan publik (public service) merupakan hak-hak sosial dasar dari masyarakat (social rights).

2. Konsep dan Landasan Yuridis Pelayanan Publik
    2.1. Konsep Pelayanan Publik
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, ditegaskan dalam Pasal 1 butir 1 :
Yang dimaksud pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan/atau pelayanan adminstratif yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Dari ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor. 25 tahun 2009 tersebut dengan tegas disebutkan tentang pelayanan publik dilakukan atas barang, jasa dan/atau pelayanan adminstratif
2. Pengawasan Sebelum Reformasi
Sebelum reformasi, sistem pengawasan diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 15 tahun 1983. Namun, peraturan hukum tersebut tidak memberikan keterangan yang tegas dan jelas mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian pengawasan itu sendiri.
Menurut George R. Terry, pengawasan adalah `Control is to determine what is accomplished evaluate it, and apply corrective measures, if needed to insure result in keeping with the plan.` Sedangkan Newman berpendapat bahwa `Control is assurance that the performance conform to plan.` Kemudian, Siagian memberikan definisi tentang pengawasan bahwa proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organsasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.[1]
Dari pengertian diatas terlihat bahwa pengawasan dititikberatkan pada dua hal, yakni pada proses pelaksanaan kegiatan dan pada tahap evaluasi serta koreksi terhadap pelaksanaan kegiatan. Kedua aspek pengawasan tersebut dilakukan untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas berjalan sesuai dengan tujuan dan hasil yang telah direncanakan.
Pengawasan, juga membutuhkan beberapa unsur, yakni :
a. Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat pengawas
b. Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap proses kegiatan yang sedang berlangsung atau yang telah dilaksanakan
a. Pengawasan dapat ditindaklanjuti secara administratif maupun yuridis.[2]
Ada tiga jenis mekanisme pengawasan yang dikenal umum. Pertama adalah pengawasan melekat. Bentuk pengawasan ini merupakan suatu mekanisme pengawasan yang mengombinasikan sistem manajemen dan sistem pengawasan atasan langsung. Di dalam pengawasan ini, diharapkan kekurangan-kekurangan dalam suatu instansi pemerintahan dapat diselesaikan dengan cepat, murah dan efisien. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan penggunaan pengawasan melekat sulit dilakukan dalam lingkungan mental-mental aparatur negara yang dinilai koruptif.
Penitikberatan pada atasan inilah yang menjadi kendala besar untuk melaksanakan pengawasan melekat dalam suatu lembaga pemerintahan. Padahal tujuan dari adanya pengawasan melekat adalah untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang bersih, transparan, profesional dan memiliki budaya kerja yang baik. Bagaimana dapat menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, transparan, profesional kalau orang-orang di dalamnya pun masih bermental money oriented, menghalalkan segala cara dan bertendensi melakukan praktek-praktek korup. Mereka lupa bahwa menjadi aparat pemerintah bahkan menjadi pejabat adalah menjadi pelayan publik.
Bentuk pengawasan lainnya dalam melakukan mekanisme pengawasan terhadap setiap tindakan pemerintah adalah pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional yang mana merupakan bentuk mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh suatu lembaga independen yang memang sengaja dibentuk untuk mengawasi lembaga tertentu menjadi pilihan awal daripada pengawasan melekat. Berdasarkan Inpres No. 15 tahun 1983, subyek yang melaksanakan fungsi pengawasan fungsional adalah:
1. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
2. Inspektorat Jenderal Departemen, aparat pengawasan lembaga non departemen/instansi pemerintah lainnya
3. Inspektorat wilayah provinsi
4. Inspektorat kabupaten/kota.[3]
Lembaga Pengawas Struktural, seperti Inspektorat Jenderal, selama ini tidak bisa mandiri karena secara organisatoris merupakan bagian dari kelembagaan/departemen terkait. Lagi pula pengawasan yang dilakukan bersifat intern artinya kewenangan yang dimiliki dalam melakukan pengawasan hanya mencakup urusan institusi itu sendiri. Kemudian, Lembaga Pengawas Fungsional, seperti Badan Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan, meskipun tidak bersifat intern namun substansi/sasaran pengawasan terbatas pada aspek tertentu terutama masalah keuangan. Lagi pula aparat pengawas fungsional pada umumnya tidak menangani keluhan-keluhan yang bersifat individual, mereka melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan secara rutin baik yang merupakan anggaran rutin maupun pembangunan.
Kondisi ini membuat lembaga pengawasan struktural maupun fungsional tidak berjalan dengan baik. Bahkan, ada kecenderungan lembaga-lembaga tersebut malah larut dalam prilaku koruptif birokrasi sehingga, pengawasan tidak pernah dijalankan secara serius dan keluhan-keluhan baik yang berasal dari internal birokrasi maupun dari eksternal (masyarakat) tidak dapat ditindaklanjuti secara serius.
3. Munculnya Lembaga Pengawas Eksternal
Ketatanegaraan Indonesia menampilkan wajah baru setelah perubahan UUD 1945, yang secara berantai dilakukan MPR selama 4 tahun, sejak 1999 hingga 2002. Reformasi konstitusi di era transisi itu, relatif mampu meletakkan sistem ketatanegaraan anyar yang lebih baik. Tentu di sana-sini ada kekurangan hasil perumusan, namun dibandingkan dengan konstitusi sebelum amandemen, UUD 1945 hasil amandemen adalah konstitusi yang lebih demokratis.[4]
Salah satu kecenderungan wajah ketatanegaraan Indonesia transisi, serta setelah perubahan UUD 1945 adalah lahirnya lembaga-lembaga `eksternal` yang memiliki kewenangan untuk mengawasi institusi negara (pemerintah). “komisi negara independen” (independent regulatory agencies) maupun lembaga negara non struktural lainnya, seperti komisi eksekutif (executive branch agencies). Bak jamur di musim hujan, semua bidang kenegaraan berlomba menghadirkan komisi negara. Nyatalah bahwa Indonesia tidak imun dari kecenderungan global, yaitu mendirikan lembaga baru di masa transisi pasca pemerintahan otoriter. Salah satu penyebab utamanya adalah lunturnya kepercayaan publik atas lembaga negara konvensional. Ketidakpercayaan publik (public distrust) itu mendorong hadirnya komisi negara yang diidamkan memberikan kinerja baru yang lebih terpercaya.[5]
Jeremy Pope dalam buku berjudul Pengembangan Sistem Integritas Nasional  secara sederhana menguraikan bahwa pada saat warga negara melihat ada sesuatu yang salah, ketidakpuasan bermunculan, dan keluhan terhadap lembaga birokrasi  pemerintahan tidak ditanggapi, padahal pada saat yang sama sistem penegakan hukum yang menjadi tumpuan akhir memperoleh keadilan sangat lamban, mahal, bersifat publik, dan jauh dari kemudahan (not-user friendly), maka saat itulah Ombudsman mulai banyak dilirik orang.[6]
Kondisi negara yang secara ilustratif diuraikan Jeremy Pope tersebut sangat relevan untuk menggambarkan keadaan negara Indonesia pasca reformasi dimana birokrasi masih dinilai sebagai institusi yang korup, tidak efektif dan tidak responsif terhadap kebutuhan publik. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat tidak percaya pada birokrasi pemerintahan. Sikap tidak puas bahkan mengarah pada sikap tidak percaya pada birokrasi merupakan sikap yang membahayakan bagi keberlangsungan pembangunan. Karena bagaimanapun, birokrasi merupakan tulang punggung jalannya roda pemerintahan. Baik buruknya pemerintahan tergantung pada kualitas birokrasinya. Sehingga, adalah suatu keharusan untuk merebut kepercayaan publik terhadap birokrasi. Kepercayaan ini penting agar kedepannya, masyarakat dapat bekerjasama dengan aparat birokrasi sehingga bermanfaat bagi proses jalannya program pemerintahan.
4. Lembaga Ombudsman
Untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap birokrasi, salah satu langkah penting yang ditempuh pemerintah pasca reformasi adalah dengan memperkuat pengawasan terhadap birokrasi dengan membentuk lembaga pengawas eksternal, yakni lembaga ombudsman. Lembaga ini dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berdasarkan Keputusan Presiden nomor 44 tahun 2000. Kemudian, dasar hukum ombudsman diperkuat dalam bentuk Undang-undang (UU), yakni UU nomor 37 tahun 2008.
Secara internasional, tidak kurang 65 negara kini memiliki lembaga Ombudsman yang keberadaannya bahkan diatur dalam konstitusi. Ombudsman di negara-negara yang sudah lama memilikinya seperti Finlandia, Swedia, dan Norwegia, dinamai "Parliamentary Ombudsman". Ini terkait dengan para anggotanya dipilih dan diangkat oleh parlemen, sehingga kedudukan mereka sangat kuat. Ombudsman Finlandia dan Polandia diberikan kewenangan untuk mengawasi lembaga peradilan sekaligus menghukum hakim-hakim yang terbukti korup. Kemudian, hampir semua negara eks Komunis di Eropa Timur, termasuk Rusia, kini memiliki sistem Ombudsman; apalagi negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Belanda, Australia dan Selandia Baru. Negara-negara Afrika yang tergolong sebagai negara berkembang seperti Zambia, Ghana, Uganda, Pantai Gading, Burkina Faso dan Kamerun, juga mempunyai Ombudsman.[7] Sehingga, pilihan Indonesia untuk membentuk lembaga Ombudsman tidak terlepas dari trend internasional yang memilih strategi model Ombudsman untuk memperbaiki kualitas pemerintahannya, terutama di negara-negara yang sedang berada dalam proses transisi dari rezim otoriter ke rezim demokrasi.
Pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan, yakni, pertama, bahwa pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara.
Kedua, bahwa pengawasan pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan merupakan unsur penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien serta sekaligus merupakan implementasi prinsip demokrasi yang perlu ditumbuhkembangkan dan diaplikasikan guna mencegah dan menghapuskan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan. Terakhir, pembentukan Ombudsman sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat agar turut terlibat aktif untuk melakukan pengawasan terhadap aparat pemerintah sehingga akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat ini merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur negara dapat diminimalisasi.
Dalam UU Ombudsman ditegaskan bahwa Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Sasaran utama kerja Ombudsman adalah praktek maladministrasi, yakni perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Terdapat beberapa tujuan pembentukan Ombudsman :
a. Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera;
b. Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme;
c. Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik;
d. Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek Maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme;
e. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.
Selanjutnya, dinyatakan dalam pasal 2 UU Ombudsman bahwa Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Kemandirian dan independensi Ombudsman dimaksudkan agar dalam melaksanakan tugasnya Ombudsman dapat bersikap obyektif, transparan, dan mempunyai akuntabilitas kepada publik.
5. Fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman
Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.[8]
Terkait dengan tugas, Ombudsman mempunyai tugas sebagai berikut :
a. Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
b. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
c. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
d. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
e. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
f. Membangun jaringan kerja;
g. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
h. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.[9]
Dalam menjalankan fungsi dan tugas, Ombudsman berwenang:
a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;
c. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor;
d. Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan;
e. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
f. Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi. [10]
Selain itu, Ombudsman berwenang:
a. Menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;
b. Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi.
Melihat fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman tersebut, jelaslah bahwa pembentukan Ombudsman terutama untuk membantu upaya pemerintah dalam mengawasi jalannya proses pemerintahan. Dengan tujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik yang menerapkan prinsip-prinsip good governance, bersih dari KKN dan meningkatkan pelayanan umum (public service). Terlihat juga bahwa Ombudsman dibentuk untuk memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pengawasan pemerintah. Aspek partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dapat lebih terjamin melalui mekanisme Ombudsman. Sehingga, partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, dapat dilaksanakan secara optimal.
Anggota Ombudsman terdiri dari 9 komisioner. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon yang diusulkan oleh Presiden.[11] Tugas mulai untuk mengawasi aparat pemerintah, mengharuskan komisioner Ombudsman haruslah orang yang cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik. Komisioner juga tidak boleh menjadi pengurus partai politik untuk menjaga kemandirian lembaga.
6. Ombudsman dan Antikorupsi
Salah satu tujuan pembentukan Ombudsman dalam UU adalah untuk memberantas dan mencegah korupsi dikalangan aparat pemerintah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa melenyapkan korupsi sampai ke akar-akarnya tidak cukup hanya dengan tindakan represif dengan memberikan hukuman kepada pelaku korupsi. Pemberantasan korupsi harus dimaknai sebagai bentuk tindakan yang komprehenshif, meliputi pencegahan, penindakan, dan perbaikan.
Ombudsman merupakan salah satu kelembagaan antikorupsi yang direkomendasikan ketetapan (TAP) MPR Nomor VIII tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Lembaga antikorupsi lain, yang juga direkomendasikan dibentuk perundangundangannya meliputi Komisi Antikorupsi, Pencucian Uang, Perlindungan Saksi, Kebebasan Memperoleh Informasi dan sebagainya.
Disamping peran dan kewenangan sebagai pengawas penyelenggaraan pemerintahan, Ombudsman juga berperan dalam proses pemberantasan dan pencegahan Korupsi. Bahkan, sebagaimana ditunjukkan oleh TAP MPR, sesunggguhnya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersama-sama dengan Komisi Ombudsman Nasional dilihat sebagai dua lembaga yang sama-sama berperan dalam Pemberantasan dan Pencegahan KKN, tetapi masing-masing diberi tugas dan kewenangan untuk memberantas dan mencegah KKN dari sudut dan melalui jalur yang berbeda. Bila Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berperan memberantas KKN yang merupakan tindak pidana, dan karena itu bertindak sebagai Pengawas Kejaksaan dalam hal pemeriksaan dan penuntutan perkara pidana korupsi, yang bahkan dapat menggantikan/mengambil alih peran Kejaksaan itu, maka Komisi Ombudsman Nasional memberantas dan mencegah aspek-aspek KKN dari jalur yang lain, yaitu melalui jalur administrasi dan Penyelenggara Negara, serta melalui pengembangan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Benar (Good Governance).[12]
Kwik Kian Gie  pernah berpendapat bahwa untuk memberantas korupsi harus dimulai dari membersihkan manusia agar bebas korupsi atau setidaknya takut melakukan korupsi. Ia kemudian menawarkan konsep pemberantasan korupsi dengan menggunakan metode pemberian carrot and stick. Menurut Kwik Kian Gie, memberi kesejahteraan dan mempertegas hukuman (carrot and stick) bagi penyelenggara negara/pemerintah seharusnya menjadi starting point yang sangat penting dalam pemberantasan korupsi. Tentu saja dengan tidak mengabaikan perbaikan perangkat hukum, kelembagaan, sistem prosedur pengambilan keputusan dan transparansi.
Pada tahap inilah, peran Ombudsman sangat dibutuhkan. Sebab selain “menghukum” para pelaku korupsi, tidak kalah penting adalah mengawasi proses pemberian hukuman tersebut apakah sudah sesuai prosedur atau sarat dengan berbagai penyimpangan. Sehingga dalam hal ini, Ombudsman lebih berperan untuk melakukan pencegahan secara dini agar dalam setiap aspek pemberantasan korupsi tidak terjadi penyimpangan atau maladministrasi. Oleh karena itu, sebagai lembaga yang menitikberatkan pada pengawasan proses pemberian pelayanan umum, dalam konteks pemberantasan korupsi, Ombudsman lebih berperan guna mencegah terjadinya perilaku koruptif setiap aparatur penyelenggara negara/pemerintah. Peran ini dilaksanakan atas dasar pemikiran bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dengan memperbaiki sistem pelayanan umum. Pendapat ini dibangun dengan asumsi bahwa sistem pelayanan umum (termasuk proses penegakan hukum) menjadi tidak berjalan secara baik karena didalamnya sarat dengan praktek-praktek penyelenggaraan negara yang koruptif. Sehingga apabila proses pemberian pelayanan umum diawasi sedemikian rupa, maka setidaknya dapat mencegah adanya peluang bagi penyelenggara negara melakukan tindakan-tindakan yang koruptif.[13]
Berbeda dengan tindakan hukum (repressive) bagi Koruptor, maka pencegahan (prevention) terhadap terjadinya praktek-praktek koruptif dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh banyak orang. Apabila kita bisa mencegah praktek-praktek koruptif dalam proses pemberian pelayanan umum seperti misalkan permintaan uang dalam pembuatan KTP, SIM, IMB dan perijinan lainnya, tentu lebih banyak orang yang merasakan dampaknya. Dengan demikian ratusan ribu bahkan jutaan orang di Indonesia dapat memperoleh pelayanan prima tanpa dibebani biaya-biaya tidak resmi yang memberatkan. Oleh karena itu, memasukkan upaya pencegahan korupsi sebagai bagian penting dalam strategi pemberantasan korupsi akan semakin melengkapi dan memperkuat gerakan antikorupsi di Indonesia.  Hal ini akan semakin memperjelas peran Ombudsman dalam gerakan antikorupsi di Indonesia. Apabila pemberantasan korupsi dimaknai sebagai bentuk tindakan yang komprehenshif, meliputi pencegahan (preventif), penindakan (represif), dan perbaikan (kuratif), permasalahannya adalah bagaimana mensinergikan peran masing-masing lembaga yang menjadi stakeholder gerakan antikorupsi sehingga menjadi kekuatan yang utuh dari hulu (pencegahan) sampai hilir (perbaikan).[14]
7. Ombudsman di Daerah
Untuk konteks Indonesia, dengan luas wilayah kepulauan dan jumlah penduduk yang sangat besar, barangkali tidak mungkin semua masalah maladministrasi publik bisa ditangani oleh Ombudsman nasional secara cepat dan murah. Dalam konteks otonomi daerah, dimana hampir seluruh kewenangan public administration dilimpahkan ke daerah, maka harus dimungkinkan dibentuk Ombudsman daerah yang independen. Pelaksanaan desentralisasi kekuasaan yang tidak diikuti dengan pembangunan sistem akuntabilitas dan pengawasan eksternal yang kuat cenderung akan mengakibatkan terjadinya desentralisasi korupsi.[15]
Sebagai lembaga yang menitikberatkan pada pengawasan proses pemberian pelayanan umum, dalam konteks pemberantasan korupsi di daerah, Ombudsman daerah berperan di baris paling depan guna mencegah terjadinya korupsi dan perilaku koruptif setiap aparatur penyelenggara pemerintahan daerah. Peran Ombudsman daerah dalam proses pencegahan korupsi dimulai dengan mendorong upaya perbaikan sistem pelayanan umum pemerintahan daerah dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik.
8. Penutup
Secara universal diakui bahwa pada hakikatnya Ombudsman mengemban misi untuk melakukan pengawasan terhadap aparat pemerintah. Rekomendasi Ombudsman meskipun tidak mengikat (not legally binding) namun secara moral diikuti (morally binding). Ombudsman tidak memberi sanksi hukum sebagaimana Lembaga Peradilan akan tetapi memberi pengaruh kepada aparatur negara. Dengan memperkuat pengawasan, diharapkan pemberian pelayanan kepada masyarakat akan lebih meningkat kualitasnya. Memperoleh pelayanan secara baik dari Penyelengara Negara merupakan sebuah permasalahan penting saat ini yang harus kita atasi. Institusi Ombudsman ingin mengembalikan paradigma bahwa sesungguhnya lembaga pengawasan memiliki peran strategis untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan yang baik.
Terkait pemberantasan korupsi, pendekatan yang dilakukan Ombudsman berbeda dengan fungsi lembaga represif antikorupsi seperti KPK, kejaksaan atau kepolisian. Fungsi Ombudsman lebih tertuju pada perbaikan administrasi guna memastikan bahwa sistem-sistem tersebut membatasi korupsi sampai tingkat minimum, yakni penyelenggaraan administrasi yang transparan, efisien dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
9. Daftar Pustaka
9.1. Daftar buku :
Hadjon, Philipus M, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Muchsan, 2000, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Sujata, Antonius, 2005, Peranan Ombudsman Dalam Rangka Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Serta Penyelenggaraan Pemerinthan Yang Bersih, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta
Sujata, Antonius,2002, Ombudsman Indonesia, Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang. Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta
9.2. Daftar peraturan perundang-undangan:
Instrruksi Presiden Nomor 15 tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan
Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan pemerintahan Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
9.3. Makalah dan Internet :
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 2005, Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Secara Sistemik.
Indrayana, Denny, 2007, Komisi Negara, Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan.
Lesmana, Tjipta, 2004, Ombudsman Indonesia Mau Dimatikan, Sinar Harapan.
Masduki, Teten, Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya.
Sujata, Antonius, Ombudsman dan Gerakan Antikorupsi.www.ombudsman.go.id


[1] Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2000. hal. 36.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Denny Indrayana, Komisi Negara, Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, 2007.
[5] Ibid.
[6] Antonius Sujata, Ombudsman dan Gerakan Antikorupsi, www.ombudsman.go.id, diakses tanggal 24 Februari 2010.
[7] Tjipta Lesmana, Ombudsman Indonesia Mau Dimatikan, Sinar Harapan, 2004.
[8] Pasal 6 UU No. 37 tahun 2008.
[9] Pasal 7 UU No. 37 tahun 2008.
[10] Pasal 8 UU No. 37 tahun 2008.
[11] Pasal 14 No. 37 tahun 2008.
[12] C.F.G. Sunaryati Hartono, Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Secara Sistemik, dalam Peranan Ombudsman Dalam Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi serta Pelaksanaan Pemerintahan Yang Baik, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2005. hal. 134.
[13] Antonius Sujata, op.cit.
[14] Ibid.
[15] Teten Masduki, Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya.


Tidak ada komentar: