Jumat, 09 Oktober 2015

TELAAH KONSTITUSIONAL PENGATURAN IMPEACHMENT PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM MEWUJUDKAN DEMOKRASI

TELAAH KONSTITUSIONAL PENGATURAN IMPEACHMENT PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN  DALAM MEWUJUDKAN DEMOKRASI

Eric S. Holle, SH.,MH

A.  Latar Belakang
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik yang merupakan negara hukum. Pengertian tersebut ialah salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam UUD 1945 sebagai prinsip negara hukum. Prinsip tersebut tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Secara historis, negara hukum adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan penyelenggaraan negara Republik Indonesia seperti diamanahkan konstitusi UUD 1945 memiliki tanggung jawab penuh dalam hal kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dibantu oleh seorang wakil presiden yang kemudian bertindak sebagai lembaga eksekutif negara. Pembagian kekuasaan di Indonesia menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif dan menempatkan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yudikatif yang dilengkapi Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga negara pengawasan. Pembagian kekuasaan negara tersebut bertujuan memenuhi mekanisme check and balances. Mekanisme ini berwujud saling mengawasi satu sama lain sehingga pertanggungjawaban setiap lembaga negara kepada rakyat lebih transparan. Berlakunya mekanisme saling mengawasi antar lembaga negara di Indonesia juga untuk mengurangi penyalahgunaan wewenang (detournement) yang kiranya sering terjadi dewasa ini.
Ketika presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu pemilihan umum dinilai sudah tidak mampu menjalankan pemerintahan negara karena sebab-sebab yang telah ditentukan oleh UUD 1945, lembaga legislatif yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan yang dipimpin presiden dapat memberi mosi tidak percaya atas nama parlemen yang kemudian diajukan ke lembaga yudikatif dalam hal ini Mahkamah Konstitusi untuk diputuskan presiden dan/atau wakil presiden pantas untuk diberhentikan dari jabatannya atau tidak, kemudian sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan gabungan DPR dan DPD untuk menentukan pemberhentian Presiden dari jabatannya. Tentu saja mekanisme pemberhentian Presiden di Indonesia yang secara tersirat ditentukan dalam UUD 1945 menyatakan bahwa ketika Presiden diberhentikan dari jabatannya maka Wakil Presiden juga diberhentikan karena “satu paket” dipilih dalam pemilihan umum yang demokratis.
Melihat ke belakang, dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia telah terjadi pemberhentian presiden sebanyak dua kali yaitu pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Hal yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa ketatanegaraan tersebut ialah sengketa anatara dua lembaga negara yakni DPR yang di satu sisi berhadap-hadapan dengan Presiden di sisi yang lain. Sejarah mencatat perseteruan antara DPR dengan Presiden di Indonesia yang pertama kali terjadi adalah pada tahun 1966-1967 dimana Presiden Soekarno memberi progress report kepada MPRS. Secara de facto, perkembangan situasi kenegaraan yang terjadi pada waktu itu memang tidak memihak kepada Presiden Soekarno. Dengan kata lain, secara politis dukungan kepada Presiden Soekarno sangat kecil atau hampir habis. Sehingga dalam Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari tangan Presiden Soekarno dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Substansi ketetapan MPRS tersebut juga termuat yang menggantikan kedudukan Presiden yaitu Jenderal Soeharto.
Perseteruan antara DPR dengan Presiden yang kedua kalinya terjadi pada tahun 2001 dimana antara DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1999 dengan Presiden Abdurrahman Wahid yang diangkat oleh MPR hasil Pemilu 1999 mengalami perseteruan yang berlanjut mosi tidak percaya DPR atas Presiden Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur. Atas mosi tidak percaya hasil perseteruan tersebut kemudian berlanjut pemberhentian atau lengsernya Presiden Abrurrahman Wahid dari jabatan kepresidenan melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2001 dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2001. Dalam TAP MPR tersebut dimuat materi pencabutan kekuasan negara dari tangan Presiden Abdurrahman Wahid yang digantikan oleh Megawati Soearnoputri sebagai Wakil Presiden saat itu. Kemudian jabatan Wakil Presiden digantikan oleh Hamzah Haz berdasarkan ketetapan tersebut. (Soimin, 2009:2)
Dari sejarah ketatanegaran yang diuraikan diatas, pemberhentian jabatan Presiden di tengah masa jabatan dari kedua peristiwa tersebut seringkali dalam ilmu hukum tata negara menyebutnya dengan kekuasaan “impeachment”. Pranata kekuasan impeachment dalam sistem ketatanegaran di beberapa negara belahan dunia seringkali digunakan untuk melakukan pemberhentian jabatan yang berada pada kekuasaan eksekutif (executive of power). Kebiasaan kenegaraan yang sering terjadi dalam pelaksanaan pemberhentian jabatan dari kekuasaan eksekutif yang disebabkan oleh pranata impeachment adalah karena melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu, pemberhentian Presiden dari jabatannya juga dapat disebabkan oleh aspek-aspek lain yang sangat kuat namun tidak sepenuhnya tersurat dalam peraturan perundang-undangan. Kita melihat fenomena pemberhentian Presiden Soeharto di awal era reformasi yang tatkala itu berhenti dari jabatannya bukan disebabkan karena diberhentikan atau di-impeachment oleh MPR, melainkan mengundurkan diri dari jabatan Presiden akibat adanya desakan dari seluruh rakyat Indonesia yang tidak percaya lagi terhadap kepemimpinannya sehingga Presiden Soeharto harus berhenti dari jabatannya. Namun pemberhentian Presiden Soeharto menimbulkan makna yaitu dilanggarnya ketentuan konstitusi UUD 1945 atau dengan kata lain menyalahi konstitusi (inkonstitusional).
Dimulainya era reformasi dilakukan pula amandemen konstitusi yaitu UUD 1945 yang kemudian dimunculkan beberapa gagasan dan pemikiran untuk memperkuat kekuasaan yudikatif negara. Terkait hal tersebut maka mutlak diperlukan pembentukan lembaga negara yang dapat menjadi pengawal dan penjaga UUD 1945 dari penyimpangan-penyimpangan kekuasaan (abuse of power). Karena seringkali terjadi konflik antar lembaga negara yang sebenarnya dilatarbelakangi kepentingan penguasa yang berakibat saling menjatuhkan satu sama lain sebagaimana pernah terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dengan dibubarkannya DPR. Selain itu juga terjadi pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang dengan mudahnya seorang Presiden diberhentikan oleh MPR. (Hamdan Zoelva, 2005:67-68).
Sampai dengan saat ini masih diperlukan kajian yang mendalam mengenai impeachment ketika terjadi kasus yang sangat besar dan diduga melibatkan pejabat negara misalnya dugaan keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam kasus bailout Bank Century senilai 6,7 triliun rupiah. Kasus yang mencuat dan menjadi perdebatan hampir seluruh elit negara pada medio awal tahun 2010 tersebut sangat menyita perhatian seluruh masyarakat di Indonesia karena dugaan adanya tindakan menyimpang yang diduga dilakukan oleh Wakil Presiden Boediono sebelum menjabat sebagai Wakil Presiden yaitu ketika menjabat Gubernur Bank Indonesia. Kasus tersebut menjadi perhatian seluruh elit politik negara yang sebagian besar berkesimpulan bahwa Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya karena diduga kuat terlibat kasus bailout Bank Century tersebut yang dianggap merugikan negara triliunan rupiah. Desakan impeachment yang begitu kuat oleh sebagian besar partai oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Wakil Presiden Boediono sebenarnya masih terlalu dini dan tergesa-gesa. Proses impeachment dalam konstitusi Republik Indonesia memang mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil dengan jelas secara tersurat. Namun kita juga harus melihat secara sistematis proses Presiden dan Wakil Presiden yang di Indonesia dipilih secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia dalam “satu paket”. Apabila Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya, secara etika kenegaraan memiliki konsekuensi bahwa Presiden juga harus diberhentikan dari jabatannya. Apabila benar Presiden dan Wakil Presiden telah diberhentikan maka akan berakibat hukum yang kiranya lebih berbahaya bagi negara yaitu “facum of power” karena untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden harus menyelanggarakan Pemilihan Umum yang memerlukan waktu yang lama dengan biaya yang tidak sedikit pula ditanggung oleh negara. Hal ini mengakibatkan perdebatan panjang jika hanya untuk meminta pertanggungjawaban presiden ataupun wakil presiden serta merta harus dilaksanakan dengan mekanisme impeachment. Proses impeachment yang hanya terdapat aturannya dalam konstitusi itu kiranya lebih bersifat sebagai langkah terakhir dalam meminta tanggung jawab negara yang diemban oleh pemimpin negara khususnya presiden dan wakil presiden. Sejarah ketatanegaraan Indonesia menyatakan bahwa dasar dilakukannya impeachment oleh lembaga-lembaga negara yang mengakomodasinya cenderung kepada penilaian subjektif sebagai alasan presiden diberhentikan dari jabatannya. Namun dapat dimaklumi bahwa pada saat terjadi impeachment itu, konstitusi negara yakni UUD 1945 sebelum amandemen sama sekali tidak mengatur mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.
Problematika ketatanegaraan tentang impeachment diatas memberikan pemahaman bahwa perlu adanya negara pembanding guna menilai secara konstitusional pengaturan impeachment dalam hal penentuan kepastian hukum.

B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang penulis ketengahkan dan hendak diketemukan jawabannya dalam penelitian ini adalah Bagaimana seharusnya pengaturan impeachment Presiden dan Wakil Presiden dalam Konstitusi Republik Indonesia sebagai negara demokrasi?

C. Kerangka Teori
1.      Tinjauan Tentang Impeachment
a.    Pengertian Impeachment dalam Sistem Kenegaraan
Menurut Jimmly Asshiddiqie, Impeachment berasal dari bahasa Inggris yaitu “to impeach”. Dalam kamus bahasa Inggris maupun kamus-kamus hukum to impeach artinya memanggil atau mendakwa untuk meminta pertanggungjawaban. Dalam hubungannya dengan kedudukan kepala negara atau kepala pemerintahan, impeachment berarti pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukannya dalam masa jabatan. Dengan demikian penggunaan pranata impeachment dalam sistem hukum yang sering digunakan terutama menurut hukum tata negara lebih diproyeksikan pada ketentuan pelanggaran hukum yang tidak hanya disebabkan karena faktor politik. Meskipun dalam praktik pelaksanaannya pranata impeachment itu ditujukan bukan hanya kepada kekuasaan Presiden sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan melainkan setiap jenjang jabatan yang ada pada struktur pemerintahan negara baik negara yang berbentuk sistem presidensiil maupun parlementer. (Soimin, 2009: 9)
Jimmly Asshiddiqie menyatakan bahwa impeachment bukan merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi negara dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga pranata impeachment lebih menitikberatkan dalam hal prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara dari jabatannya. Hal ini berlaku pada sistem pemerintahan baik pemerintahan itu presidensiil maupun parlementer. Karena secara historis praktik impeachment itu untuk memproses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang “powerfull”, yang diduga terkait kasus korupsi atau hal-hal lain yang bukan merupakan kewenangan pengadilan konvensional.

b. Batasan Hukum Istilah Impeachment
Munir Fuady dalam bukunya Teori Negara Hukum Modern (Rechsstaat) menyatakan bahwa model penyebutan istilah “kesalahan berat” yang dapat dijadikan dasar bagi suatu proses impeachment, diantaranya terdapat istilah-istilah sebagai berikut :
1) Melakukan kesalahan berat.
2) Melanggar haluan negara sebagaimana yang berlaku di Indonesia sebelum UUD 1945 amandemen.
3)  Melakukan pengkhianatan (treason), suap menyuap (bribery), dan kelalaian serta kejahatan berat lainnya (other high crimes and misdemeanors) sebagaimana yang terdapat dalam konstitusi federal Amerika Serikat.
4) Melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang serius (serious abuse of power).
5) Melakukan pengkhianatan yang serius (a gross breach of trust).
6)  Dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen Pasal 7A, impeachment dapat dilakukan terhadap presiden dan/atau wakil presiden berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a) Telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara.
b) Telah melakukan korupsi.
c) Telah melakukan penyuapan.
d) Telah melakukan tindak pidana berat lainnya.
e) Telah melakukan perbuatan tercela.
f) Telah terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. (Munir Fuady, 2009:155-156)
Berkaitan dengan batasan hukum istilah impeachment diatas, penulis dalam penelitian ini hendak menegaskan bahwa perihal permasalahan penelitian yang diangkat menyangkut dasar hukum pengaturan impeachment presiden dan wakil presiden adalah termasuk dalam ruang lingkup konstitusinalisme. Selanjutnya pengkajian mengenai pengaturan impeachment presiden dan wakil presiden dalam konstitusi Republik Indonesia dan Amerika Serikat akan merujuk kepada batasan-batasan yang ada dalam kajian perbandingan konstitusi secara formal yang terbatas pada pasal-pasal dalam konstitusi dan lembaga-lembaga negara yang diberi wewenang dalam proses impeachment.



2. Tinjauan Tentang Konstitusi dan Konstitusionalisme
    a. Konstitusi
Konstitusi menurut K. C. Wheare merupakan hasil seleksi dari peraturan-peraturan hukum yang mengatur pemerintahan negara dan telah diwujudkan dalam sebuah dokumen. Pendapat lain mengemukakan bahwa, “konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan negara. Dalam konstitusi diatur bagaimana poros-poros kekuasaan bekerja dan saling berhubungan, serta hak-hak dasar warga negara” (Firmansyah Arifin, 2005:19).
L. J. Van Apeldorn memberikan pengertian yang jelas antara konstitusi dan undang-undang dasar (grondwet). Grondwet adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi. Sedangkan konstitusi (constitution) memuat baik peraturan yang tertulis maupun tidak tertulis. Sementara pendapat Sri Soemantri menyatakan bahwa konstitusi adalah sama dengan Undang-Undang Dasar. Persamaan istilah konstitusi dengan undang-undang dasar kiranya lebih relevan jika dilihat dari praktik ketatanegaraan yang telah berlaku di sebagian besar negara saat ini termasuk Indonesia.
Keberadaan konstitusi tidak bisa dilepaskan dari keberadaan negara. Sebagaimana diketahui, negara adalah suatu organisasi kekuasaan. Dalam setiap negara betapapun kecilnya, selalu terdapat bermacam-macam lingkungan kekuasaan, baik yang berada dalam suprastruktur politik maupun infrastruktur politik. Sedangkan kekuasaan, adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak pihak lain atau mengendalikan keinginan dan kehendak orang lain. Sebaliknya, kekuasaan dapat disalahgunakan oleh yang memegangnya yang akan menimbulkan kesewenang-wenangan. Maka dimana terdapat organisasi negara dan kebutuhan menyusun suatu pemerintahan negara, akan diperlukan selalu adanya Undang-Undang Dasar (UUD) atau konstitusi. Ini berarti UUD atau Konstitusi bersumber dari paham tentang pemerintahan yang terbatas kekuasaannya. UUD atau Konstitusi dipergunakan untuk memaksakan pembatasan-pembatasan (Bagir Manan dan Kuntana Magnar,1993:73).
Menurut Sri Soemantri dalam bukunya Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi (1979), substansi Konstitusi sekurang-kurangnya memuat :
1)  Jaminan terhadap hak-hak asasi (dan kewajiban asasi) manusia dan warga negara.
2)  Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar.
3)  Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat mendasar. (Dahlan Thaib,1989:15)


b. Konstitusionalisme

Menurut Carl J. Federich, Konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah (Miriam Budiharjo, 1991: 57).
Ajaran negara berkonstitusi (constitutionalism) yang secara esensial mengandung makna pembatasan kekuasaan pemerintahan (limited goverment) dan perlindungan hak-hak rakyat dari tindakan kesewenang-wenangan pemerintahan terutama yang menyangkut hak asasi manusia atau hak dasar rakyat . Pembatasan kekuasaan ini dalam arti horizontal atau vertikal termasuk pembatasan waktu (Sri Soemantri sebagaimana dikutip Bagir Manan, 2003: 75).
J. G. Steenbeek menyatakan bahwa “Pada umumnya Undang-Undang Dasar atau konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu : pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganegara; kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan yang ketiga, adanya pembagian dan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental”. (Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1993: 72).

        3. Tinjauan Tentang Lembaga Kepresidenan
Lembaga Kepresidenan adalah bagian dari lembaga Negara. Lembaga Negara secara definitif bermakna alat-alat kelengkapan suatu negara atau lazimnya disebut sebagai lembaga negara. Yaitu institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara (M. Kusnardi dan Bintan Siragih, 2000:241). Lembaga negara atau bisa disebut sebagai alat-alat kelengkapan negara menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan keberadaan negara. Keberadaan alat kelengkapan negara menjadi keniscayaan untuk mengisi dan menjalankan negara. Pembentukan lembaga negara sendiri merupakan manifestasi dari mekanisme keterwakilan rakyat dalam menyelenggarakan pemerintahan (Firmansyah Arifin, 2005:14). Yang dimaksud dengan lembaga kepresidenan adalah institusi atau organisasi jabatan yang dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 berisi dua jabatan yaitu presiden dan wakil presiden. (Jimmly Asshiddiqie, 2005:59). Lembaga kepresidenan (Presidential Institution) sendiri dalam penyelenggaraan negara berkaitan dengan bentuk negara republik. Dalam bahasa Indonesia, perkataan presiden dipergunakan dalam dua arti yaitu lingkungan jabatan (ambt) dan pejabat (ambtsdrager). Menurut UUD 1945, penggunaan kata presiden menunjukkan pejabat. Tetapi karena presiden adalah pemangku jabatan kepresidenan, dengan sendirinya dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai presiden sekaligus mengandung pula makna pengaturan lingkungan jabatan kepresidenan (Bagir Manan, 2003:19).

D.  Pembahasan
1. Praktik Impeachment Presiden dalam Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia.
Proses pemberhentian Presiden dari jabatannya atau yang dikenal dengan istilah pemakzulan (impeachment), di dalam praktik ketatanegaraan Indonesia menjadi suatu alat kontrol lembaga legislatif terhadap lembaga eksekutif ketika pemerintahan berjalan. Kiranya dalam menjalankan kekuasaan negara ketika pemerintahan berjalan seringkali terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang (detournement) yang dilakukan oleh pejabat eksekutif negara dalam hal ini Presiden. Permasalahan ini merupakan konsekuensi dari sistem pemerintahan presidensiil yang dianut Indonesia dengan menempatkan seorang Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Pengalaman sejarah ketatanegaraan Indonesia memaparkan penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan negara yang dilakukan oleh kepala eksekutif negara untuk mempertahankan kekuasaanya menjadi pemantik pranata impeachment. Pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru yang menganut konstitusi UUD 1945 dapat ditarik makna bahwa akibat dari penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan itu tekadang menimbulkan ekses buruk bagi penyelenggaraan negara karena adanya suatu pengawasan yang dilakukan oleh kekuasaan legislatif. Dan bukti yang diperoleh dari sejarah bangsa Indonesia itu, dalam sistem ketatanegaraannya juga pernah memberhentikan seorang Presiden dari kursi kekuasaannya, yakni pada masa pemerintahan Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno dengan sistem Demokrasi Terpimpinnya. Kemusian pada masa pemerintahan Orde Reformasi di bawah pimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dengan sistem demokrasi konstitusionalnya. Dan kedua pemimpin Republik Indonesia yang pernah menjabat sebagai Presiden harus berakhir karena diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Berikut penulis kemukakan proses impeachment presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid :

a. Proses Impeachment Presiden Soekarno
Awal mula terjadinya proses impeachment terhadap Presiden Soekarno adalah karena situasi dan kondisi politik negara yang instabilitas nasional disebabkan karena adanya peristiwa G.30S/PKI, disusul kemudian terjadinya krisis ekonomi nasional yang disebabkan karena tidak menentunya sistem politik negara, ditambah lagi dengan krisis moralitas masyarakat yang terjadi dengan maraknya kriminalitas di hampir seluruh wilayah negara Indonesia. Kekacauan situasi dan kondisi negara seperti itu memicu perseteruan antara Presiden Soekarno dengan MPRS yang pada akhirnya memunculkan pertanggungjawaban Presiden Soekarno di hadapan sidang MPRS dengan sebutan ”Pidato Nawaksara” yang disampaikan pada tanggal 22 Juni 1965. Penyampaian laporan pertanggungjawaban Soekarno di hadapan sidang MPRS tersebut, sesungguhnya merupakan permintaan Presiden sendiri tanpa ada permintaan dari MPRS.
Dalam rapat pimpinan MPRS yang berturut-turut dilaksanakan tanggal 20-21 Januari 1967, menyimpulkan antara lain Presiden Soekarno alpa memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusional yang dibuktikan dalam Surat Presiden No.01/Pres/67, yaitu mengingkari keharusan bertanggung jawab kepada MPRS dan hanya menyatakan semata-mata bertanggung jawab mengenai GBHN saja. Di samping itu, MPRS juga menganggap bahwa Surat Presiden No.01/Pres/67 lebih merupakan surat jawaban atas Nota Pimpinan MPRS No.2/Pim.MPRS/1966, bukan pelengkap Nawaksara yang ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.
Kemudian dalam gagasannya, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) menganggap bahwa Presiden setidak-tidaknya telah melanggar haluan negara yang ditetapkan dalam UUD 1945 dengan dasar bahan-bahan dan fakta-fakta yang terungkap. Atas pertimbangan itulah DPR GR meminta MPRS untuk menetapkan penyelenggaraan Sidang Istimesa MPRS yang diselenggarakan pada tanggal 7-11 Maret 1967 di Jakarta. Proses hasil Sidang Istimewa MPRS dengan berbagai pertimbangan MPRS dengan Keputusan Pimpinan MPRS No.13/B/1967, menolak Pidato Pelengkap Nawaksara dengan alasan-alasan pokok sebagai berikut :
1) Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusional sebagaimana layaknya seorang mandataris terhadap MPRS.
2) Presiden Soekarno telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS, sebagaimana layaknya seorang mandataris terhadap MPRS.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka dalam Sidang Istimewa MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno dengan alasan-alasan sebagaimana tercantum dalam pertimbangan antara lain :
1.      Pidato Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara tidak memenuhi harapan rakyat pada umumnya dan anggota MPRS pada khususnya karena tidak memuat secara jelas pertanggungjawaban tentang kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan kontra revolusi G.30 S/PKI beserta epilognya, kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlak bangsa.
2.      Pengumuman penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pada tanggal 20 Februari 1967.
3.      Adanya petunjuk-petunjuk bahwa Presiden Soekarno telah melakukan gerakan politik yang secara tidak langsung menguntungkan G.30 S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G.30 S/PKI sesuai laporan tertulis Panglima Operasi Keamanan dan Ketertiban tanggal 1 Februari 1967 dan dilengkapi pidato laporan di hadapan Sidang Istimewa MPRS.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan TAP MPRS tersebut telah mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan MPRS juga menetapkan pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Dari proses pemberhentian Presiden Soekarno diatas, kiranya selama berlakunya kembali UUD 1945 setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga jatuhnya Presiden Soekarno tahun 1967, pengaturan mengenai impeachment belum memiliki kejelasan secara konstitusional karena pemberhentian Presiden Soekarno lebih disebabkan oleh alasan subjektivitas mayoritas anggota MPRS yang tidak menerima pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno. Berhentinya kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno pada saat itu menunjukkan pranata impeachment yang terkesan “dipaksakan” oleh MPRS dikarenakan tidak ada aturan dalam konstitusi negara mengenai impeachment itu sendiri.

     b. Impeachment Terhadap Presiden Abdurrahman Wahid
Dalam proses impeachment Presiden Abdurrahman Wahid ini merupakan ekses dari konflik politik yang rumit (complicated) sehingga Presiden diberhentikan dari jabatannya. Beberapa masalah yang muncul sebelum Presiden Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur dicabut mandatnya oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR 23 Juli 2001 diantaranya indikasi penyalahgunaan dana bulog dan dana Brunei Darrussalam yang dilakukan Presiden. Penyalahgunaan wewenang lainnya yang dianggap MPR kesalahan konstitusional Presiden adalah melakukan pergantian jabatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)
Jenderal (Pol) S. Bimantoro tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Konflik politik lain yang memanas dalam hal ini adalah Presiden Abdurrahman Wahid sering mengeluarkan statement yang bernada ancaman akan mengeluarkan Dekrit Presiden jika tidak tercapai kompromi politik yang terjadi antara Presiden dan DPR/MPR.
Kemudian atas dasar alasan-alasan kesalahan Presiden yang telah dilakukan, DPR mengajukan memorandum pertama yang berisikan tentang dugaan keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam Kasus Bulog (Buloggate) dan Kasus Brunei (Bruneigate). Berdasarkan hasil kerja dan kesimpulan Panitia Khusus DPR yang menduga adanya keterlibatan Presiden dalam kasus tersebut, maka dalam Sidang Paripurna DPR RI memutuskan untuk menerima dan menyetujui laporan hasil kerja Pansus dan memutuskan untuk ditindaklanjuti dengan menyampaikan “memorandum” untuk mengingatkan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid sungguh melanggar haluan negara, yaitu :
1. Melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan.
2. Melanggar Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Atas dasar petimbangan tersebut, DPR meminta MPR untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid. Kemudian MPR menetapkan jadwal Sidang Istimewa yang akan dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 2001. Namun yang terjadi ternyata justru MPR mengajukan jadwal sidang istimewa menjadi tanggal 21 Juli 2001, sepuluh hari lebih cepat dari jadwal semula. Percepatan jadwal sidang istimewa ini dilakukan karena alasan perkembangan situasi dan kondisi politik yang semakin memburuk yang mengancam integritas bangsa dan negara. Hal ini disebabkan juga karena ternyata Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 Juli 2001 dini hari pukul 01.05 WIB mengumumkan Maklumat Presiden Gus Dur.(Ni’matul Huda, 2003: 174-175)
Dilakukannya langkah politik Presiden yang mengejutkan itu kemudian dibalas oleh mayoritas anggota DPR dengan tidak mengakui Maklumat Presiden tersebut dan kemudian melakukan memorandum yang dipercepat dengan agenda mencabut mandat terhadap Presiden Gus Dur. Sehingga Sidang Istimewa digelar dengan agenda memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid dari jabatannya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dari rangkaian peristiwa tersebut, MPR RI memutuskan untuk memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid karena dinyatakan sungguh-sungguh melanggar haluan negara yaitu karena ketidakhadiran dan penolakan untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR RI tahun 2001 dan penerbitan Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001. Hal yang mengejutkan dilakukan MPR RI dalam diktum putusan pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid ini, yaitu alasan yang ditulis bukan didasarkan pada memorandum DPR RI, melainkan alasan lain yakni ketidakhadiran dan penolakan Presiden untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR serta dikeluarkannya Maklumat Presiden Gus Dur. Meskipun demikian, dari pertimbangan dalam Ketetapan MPR RI No. II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI K. H. Abdurrahman Wahid tetap dicantumkan pula adanya pelanggaran haluan negara sebagaimana yang tertuang dalam memorandum DPR RI.
Akhirnya Hasil Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2001 dikeluarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang Pemberhentian Jabatan Presiden Abdurrahman Wahid. Dalam TAP MPR tersebut termuat materi pencabutan kekuasaan negara dari tangan Presiden Abdurrahman Wahid yang digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang menjabat Wakil Presiden saat itu. Kemudian jabatan Wakil Presiden digantikan oleh Hamzah Haz berdasarkan ketetapan tersebut. Dengan demikian, pemberhentian Presiden dan mekanisme serta proses pemberhentiannya dapat disimpulkan unsur utama yang dijadikan alasan impeachment Presiden adalah adanya pelanggaran haluan negara yang dilakukan oleh Presiden, apakah itu melanggar konstitusi, pelanggaran terhadap TAP MPR maupun pelanggaran UU serta peraturan-peraturan lainnya. (Hamdan Zoelva, 2005:104)
Paparan tentang peristiwa pemberhentian Presiden Republik Indonesia sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia tercatat bahwa apa yang terjadi pada pengalaman impeachment terhadap Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid di atas menunjukkan bahwa tidak adanya ketentuan yang jelas mengenai alasan hukum (legal reasoning) dan mekanisme impeachment menimbulkan akibat yang bermakna pelaksanaan impeachment cenderung ditentukan oleh penafsiran subjektif. Impeachment terhadap Presiden Soekarno tidak didasarkan pada ketentuan yang jelas untuk melakukan impeachment tersebut, tetapi hanya berdasarkan bahwa MPRS sebagai lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan negara memiliki wewenang mengangkat dan memberhentikan Presiden dan MPRS dapat setiap saat memberhentikan Presiden manakala Presiden dinilai telah melakukan penyimpangan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Pengalaman impeachment terhadap presiden Abdurrahman Wahid memang telah dilandasi aturan yang sedikit lebih formal dan maju dibandingkan dengan proses impeachment terhadap Presiden Soekarno. Lebih formal disini ialah digunakannya dasar hukum dalam mendakwa Presiden Abdurrahman Wahid yaitu dengan TAP MPR No. VII/MPRS/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan dan TAP MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.

2.      Prosedur Mekanisme Impeachment Presiden dan Wakil Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945 Pasca Amandemen.
Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasca amandemen, mekanisme pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden harus bermula dari proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kemudian proses hukum di Mahkamah Konstitusi, dan proses politik penentu di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden menurut UUD 1945 pasca amandemen ini, proses politik dan proses hukum berjalan sekaligus dengan alur yang telah ditentukan konstitusi. Permulaan proses impeachment dimulai dengan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sesuai yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen Pasal 7A. DPR kemudian meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah bersalah karena melakukan pelanggaran hukum dan ini merupakan kewajiban MK untuk memberikan kepastian hukum (rechtsmatigheid) sesuai Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 amandemen dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 amandemen serta Pasal 10 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Sesuai dengan ketentuan pasal 7B ayat (4) UUD 1945 amandemen maka MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR tersebut. Kedudukan DPR dalam persidangan MK adalah sebagai pihak pemohon karena DPR-lah yang memiliki inisiatif dan berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945 amandemen. Setelah MK memberi putusan atas pendapat DPR dan isi putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR tersebut maka tahapan ketiga proses impeachment berada di MPR. UUD 1945 memberikan batasan bahwa hanya bilamana MK membenarkan pendapat DPR tersebut maka DPR dapat meneruskan proses impeachment atau usulan pemberhentian ini kepada MPR. Keputusan DPR untuk melanjutkan proses impeachment dari MK ke MPR juga harus melalui keputusan yang diambil dalam sidang paripurna DPR.
Kemudian yang menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment di MK adalah bahwa MK memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan impeachment yang ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketika proses impeachment berlangsung di MK, namun MK berarti tidak sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena yang menjadi objek dalam proses impeachment di MK adalah pendapat DPR. Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab itu proses impeachment di MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman dalam fungsinya sebagai judicial power maka putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum. Karena DPR adalah satu-satunya pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk beracara di MK dalam rangka tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Disebutkan secara eksplisit dalam pasal 80 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa ”Pemohon adalah DPR”. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah siapakah yang akan mewakili DPR dalam persidangan di MK atau dapatkah DPR menunjuk kuasa hukum untuk mewakili kepentingannya di persidangan MK. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu untuk dilihat ketentuannya dalam hal penunjukkan kuasa hukum yaitu Pasal 43 dan 44, UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi secara umum mengatur bahwa setiap pemohon dan/atau termohon yang beracara di MK dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya. Berarti DPR sebagai pemohon dalam perkara tuduhan impeachment di MK juga dapat menunjuk kuasa untuk mendampingi atau mewakilinya dalam beracara di MK. Namun jika dengan pertimbangan untuk memberikan keterangan selengkap-lengkapnya kepada Majelis Hakim Konstitusi tentu lebih baik bilamana DPR menunjuk anggota-anggotanya yang terlibat secara intens dalam rapat-rapat di DPR ketika penyusunan tuduhan impeachment. Misalnya anggota-anggota yang mengusulkan hak menyatakan pendapat maupun anggota Panitia Khusus yang dibentuk untuk melakukan pembahasan tuduhan impeachment di DPR. Pertanyaan selanjutnya yang muncul ialah bagaimana dengan kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam proses impeachment di MK. Dari seluruh ketentuan hukum acara pelaksanaan kewenangan dan kewajiban MK yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa hanya ada satu ketentuan hukum acara pelaksanaan kewenangan MK yang secara eksplisit menyebutkan adanya termohon yaitu kewenangan MK memutus sengketa antar lembaga negara. Hal ini berarti bahwa selain kewenangan memutus sengketa lembaga negara, seluruh pelaksanaan hukum acara kewenangan dan kewajiban MK bersifat adversarial. Kehadiran atau pemanggilan pihak-pihak selain pemohon dalam persidangan bukanlah untuk saling berhadapan dengan pemohon namun untuk dimintai keterangan bagi Majelis Hakim Konstitusi melakukan pemeriksaan silang (cross check) ataupun memperkaya data-data yang dibutuhkan.
Dengan demikian, dalam proses impeachment di MK kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK bukanlah sebagai termohon. Dan kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK adalah hak, bukan kewajiban. Hak Presiden dan/atau Wakil Presiden yang mengalami tuduhan impeachment untuk memberikan keterangan dalam persidangan MK menurut versinya bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden menganggap bahwa pendapat maupun keterangan yang diberikan oleh DPR dalam persidangan MK tidak benar. Dalam hal penunjukan kuasa hukum dalam persidangan MK maka Presiden dan/atau Wakil Presiden juga memiliki hak untuk didampingi atau diwakili oleh kuasa hukum. Namun untuk mencegah adanya distorsi akan lebih baik bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden hadir dalam persidangan MK sebagaimana Presiden dan/atau Wakil Presiden diwajibkan hadir untuk memberikan keterangan dalam rapat pembahasan Panitia Khusus yang dibentuk oleh DPR sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR. (Jimly Asshiddiqie, 2005: 73-75)
Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum merupakan pelaksanaan dari fungsi pengawasan DPR yang termaktub dalam Pasal 7B ayat (2) UUD NRI 1945. Dalam hal sebagai fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh seorang Presiden dengan dibantu oleh seorang Wakil presiden beserta para menteri kabinetnya. Maka apabila dalam perjalanannya dianggap dan diduga oleh sebagian anggota DPR bahwa pelaksanaan dan penyelenggaraan negara yang dipimpin oleh Presiden melakukan perbuatan melawan hukum. Proses dugaan DPR yang diajukan oleh sebagian anggota DPR harus dimintakan keabsahannya kepada Mahkamah Konstitusi yang didukung sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Namun jika pengajuan oleh sebagian anggota DPR atas dugaannya terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden masih belum mencapai quorum maka belum dapat diajukan kepada Mahkamah Konstitusi.

E.   Penutup
Di Indonesia, lembaga negara yang mengakomodasi impeachment menurut UUD NRI 1945 amandemen adalah DPR, MK, dan MPR. Perbedaan selanjutnya terletak pada keseimbangan wewenang lembaga negara legislatif dalam mengakomodasi proses impeachment.  Kedudukan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia menjadi alasan yang kuat untuk diberikan wewenang yang seimbang dengan DPR dalam mekanisme impeachment. Sejak amandemen UUD 1945, tugas pokok dan fungsi DPD dalam konstitusi memang sangat terbatas jika dibandingkan dengan DPR yang secara struktur ketatanegaraan sejajar kedudukannya. DPR dapat menyatakan pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan karena telah memenuhi rumusan Pasal 7A UUD 1945 amandemen. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa DPR berfungsi dalam hal penuntutan sebagai pihak yang menuntut (prosecutor) impeachment. DPD memiliki peran dalam hal menyetujui untuk diselenggarakannya sidang istimewa MPR dan memberikan suara terhadap penentuan berhenti atau tidaknya presiden dan/atau wakil presiden setelah proses impeachment dilakukan di DPR dan MK. Karena jika tanpa DPD, maka MPR tidak bisa terbentuk apalagi untuk menyelenggarakan sidang istimewa. Karena itulah DPD seharusnya diberikan wewenang yang strategis pula ketika dalam proses impeachment. Artinya bahwa DPD tidak harus menyetujui diadakannya Sidang MPR untuk penentuan putusan impeachment. Selanjutnya untuk idealisasi konsep impeachment ditentukan pula kedudukan hukum putusan MPR sebagai kata akhir proses impeachment. Memang MPR saat ini memiliki Tata Tertib MPR dan Keputusan sebagai produk hukumnya, namun itu hanya bersifat protokoler untuk mengatur sistem kerja di lingkungan MPR saja. Sebelum amandemen UUD 1945, ditentukan bahwa putusan MPR memiliki bentuk yuridis yang berkekuatan eksekutorial yaitu Ketetapan MPR atau TAP MPR. Namun setelah amandemen UUD 1945, TAP MPR dicabut sebagai peraturan perundang-undangan sehingga Ketetapan MPR tidak lagi termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dan Undang-Undang di bawahnya pun juga tidak ada yang mengatur mengenai kedudukan hukum putusan MPR penentu impeachment. Maka dari itulah, perlu adanya peraturan hukum yang jelas mengenai peran DPD dan bentuk hukum putusan MPR sebagai idealisasi konsep impeachment di negara demokratis.


Daftar Pustaka

Hamdan Zoelva. 2005. Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press.
Soimin. 2009. Impeachment Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Yogyakarta: UII Press. 
Munir Fuady. 2009. Teori Negara Hukum Modern (Rechsstaat). Bandung: Refika Aditama.
Firmansyah Arifin, dkk . 2005. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional.
Dahlan Thaib. 1989. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945. Yogyakarta: Liberty.
Miriam Budiharjo. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Bagir Manan. 2003. Lembaga Kepresidenan.Yogyakarta: FH UII Press.
Moh. Kusnardi dan Bintan Siragih. 2000. Ilmu Negara, Edisi Revisi. Jakarta: Gaya Media Pratama
Jimly Asshiddiqie. 2005. Laporan Penelitian. Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Siftung.

Ni’matul Huda. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar: